2025/06/30

Cinta, Uang, dan Obsesi: Kita Kadang Nggak Tahu Lagi Mana yang Tulus

 

Dua orang duduk membelakangi di bangku taman malam hari, terlihat jauh secara emosional meskipun berdekatan.

Di usia-usia seperti sekarang, kita mulai lebih sering mempertanyakan banyak hal. Bukan cuma soal karier, arah hidup, atau pencapaian, tapi juga soal perasaan—tentang cinta. Kadang cinta terasa sederhana, tapi saat dihadapkan dengan kenyataan hidup, semuanya jadi lebih kompleks dari yang dibayangkan.

Suatu malam, aku duduk bareng seorang teman. Kami ngobrol soal hidup, hal-hal yang sedang kami pikirkan akhir-akhir ini, dan tiba-tiba dia nanya:
“Menurutmu, cinta bisa tumbuh dari uang?”

Pertanyaannya sederhana. Tapi dalam. Diam-diam, itu pertanyaan yang banyak orang simpan tapi jarang benar-benar dijawab. Dan sejak saat itu, aku mulai memikirkan ulang: apakah cinta memang sesederhana perasaan yang muncul dari hati, atau sebenarnya lebih rumit dari itu?


Cinta bisa muncul dari kenyamanan, tapi belum tentu itu cinta

Seseorang duduk sendirian di sofa mewah dengan hadiah di sekitarnya, menatap kosong seolah kehilangan makna dalam kenyamanan.

“Kenyamanan bisa menciptakan rasa, tapi belum tentu menciptakan cinta.” – Anonim

Kita hidup di dunia yang terus menekankan pentingnya stabilitas. Dan, mau diakui atau tidak, uang sering kali jadi tolok ukur utama dalam stabilitas itu. Dari kebutuhan dasar sampai ke rasa aman, semuanya bersentuhan dengan uang.

Nggak heran kalau dalam hubungan pun, banyak orang jadi tertarik pada orang yang secara finansial mapan. Tapi di sinilah letak dilemanya: ketika kenyamanan hadir, rasa suka bisa tumbuh. Namun rasa suka yang tumbuh dari kenyamanan belum tentu adalah cinta.

Misalnya, seseorang yang selalu hadir memberi, membelikan hadiah, membawa kita ke tempat-tempat indah, atau menolong saat kita kesulitan. Kita merasa dihargai, diperhatikan, bahkan merasa istimewa. Tapi apakah itu cinta?

Bisa jadi iya. Tapi bisa juga tidak. Karena kadang, yang kita cintai bukan sosoknya, tapi suasana nyaman yang dia ciptakan. Dan saat suasana itu hilang, kita mulai kehilangan rasa. Lalu pertanyaannya pun muncul: kalau semua itu tidak lagi ada, apakah perasaan itu akan tetap bertahan?


Obsesi bisa menyamar jadi cinta, dan kita sering nggak sadar

Seseorang menatap dari kejauhan dengan tatapan intens, bayangan dirinya membesar di tembok, menggambarkan obsesi yang tersembunyi.

“Obsesi ingin memiliki. Cinta ingin memahami.” – Paulo Coelho

Hal yang membuatnya rumit adalah: obsesi sering terasa seperti cinta. Ia datang dengan semangat, antusiasme, bahkan pengorbanan. Tapi yang membedakan adalah niat di baliknya. Obsesi muncul karena kekaguman yang dangkal—terpikat oleh citra, bukan kenyataan.

Kita mudah terpesona pada seseorang yang terlihat kuat, punya pengaruh, atau punya daya tarik tertentu. Tapi tanpa kita sadari, kita jadi ingin memiliki, bukan memahami. Ingin dekat bukan karena mau mengenalnya lebih dalam, tapi karena takut kehilangannya untuk orang lain.

Itulah obsesi—rasa ingin memiliki yang besar, tapi minim empati. Dan celakanya, ketika kita berada dalam kondisi ini, kita sering nggak sadar bahwa yang sedang kita jalani bukan cinta. Kita menyebutnya cinta karena kita tak mau mengakui bahwa yang sebenarnya kita kejar hanyalah gambaran ideal yang ada di kepala kita sendiri.


Nyaman itu penting, tapi bisa juga jadi jebakan

Sepasang kekasih berbaring saling membelakangi di tempat tidur dengan ekspresi datar, menunjukkan jarak emosional dalam hubungan yang nyaman.

“Kadang kita jatuh cinta, padahal cuma takut sendirian.” – Anonim

Dalam hubungan, kenyamanan itu penting. Tapi ada garis tipis antara merasa nyaman dan hanya terbiasa. Dan sering kali, kita keliru membedakannya.

Seseorang bisa terasa sangat dekat hanya karena dia selalu hadir. Bukan karena ada koneksi yang kuat, tapi karena rutinitas yang kita jalani bersama dengannya. Lalu kita mulai bertanya: apakah aku cinta dia? Atau aku cuma takut sendirian kalau dia pergi?

Ketika hubungan hanya dibangun atas dasar kebiasaan, rasa aman, dan kenyamanan, kita rentan untuk memaksakan sesuatu yang tidak tumbuh secara tulus. Kita bertahan bukan karena rasa sayang yang dalam, tapi karena enggan memulai dari awal lagi.

Cinta yang sejati seharusnya membuat kita berkembang, bukan terjebak dalam lingkaran yang nyaman tapi membingungkan.


Cinta yang sehat tidak membuat kita bergantung, tapi bertumbuh

Dua orang berjalan berdampingan dengan ransel masing-masing, tersenyum dan tetap bergerak maju dalam hubungan yang sehat.

“Cinta sejati bukan tentang menempel. Tapi tentang berjalan beriringan.” – Anonim

Hubungan yang sehat akan mendorong dua orang untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka. Bukan saling mengekang, apalagi membuat salah satunya merasa kecil.

Namun saat cinta dibalut dengan uang, ada risiko yang kadang tak disadari: ketergantungan. Salah satu pihak merasa terlalu “berutang” karena selalu menerima. Sementara pihak lainnya merasa lebih “berkuasa” karena selalu memberi.

Awalnya ini terasa menyenangkan. Tapi lama-kelamaan, bisa berubah jadi relasi yang timpang. Cinta pun jadi seperti utang yang harus dibayar dengan kepatuhan, bukan kebebasan.

Padahal, cinta tidak pernah menuntut kita untuk kehilangan diri sendiri. Justru sebaliknya—ia mendukung kita untuk tetap menjadi diri kita, dengan segala mimpi, luka, dan keinginan yang kita bawa sejak awal.


Uang bisa membuka pintu, tapi bukan fondasi cinta

Dua tangan saling menggenggam di atas meja dengan dompet dan kopi di sekitarnya, menggambarkan relasi yang mungkin dimulai dari materi.

“Hal terbaik yang bisa kamu berikan dalam cinta adalah kehadiran, bukan pemberian.” – Anonim

Tidak bisa dipungkiri, uang memang bisa menjadi pintu pembuka. Bisa membantu seseorang terlihat lebih menarik, lebih peduli, lebih siap untuk membangun masa depan. Tapi uang tidak bisa menjadi fondasi cinta yang kokoh.

Ketika semua hal baik yang kita rasakan dalam hubungan hanya bergantung pada materi, maka fondasinya rapuh. Karena saat keadaan berubah, perasaan pun bisa ikut goyah.

Cinta yang kuat tidak bergantung pada apa yang dimiliki hari ini. Tapi pada bagaimana dua orang saling memilih dan terus bertahan, bahkan ketika keadaan tidak sedang ideal.

Dan justru saat itu—saat semua terlihat sederhana, mungkin berat, dan jauh dari kemewahan—cinta menunjukkan wajah aslinya.


Lalu... apa sebenarnya cinta itu?

Sepasang kekasih berbagi satu payung di tengah hujan ringan, basah tapi tetap tenang, mencerminkan cinta dalam kesederhanaan.

“Cinta sejati adalah ketika kamu tahu semua kekurangan seseorang, tapi tetap memilih tinggal.” – Anonim

Cinta bukan hanya tentang rasa suka yang membuncah di awal. Bukan juga tentang deg-degan yang muncul setiap kali melihat notifikasi dari seseorang.

Cinta adalah keputusan.
Ia tumbuh pelan-pelan. Diuji waktu. Dipertajam oleh kecewa. Dimatangkan oleh pengertian.

Ia hadir saat kamu memilih tetap mendengarkan, bahkan ketika kamu sedang capek. Ia bertahan ketika semuanya nggak lagi mudah. Dan ia tetap tinggal, bukan karena kamu tidak punya pilihan lain, tapi karena kamu tahu: di sinilah kamu ingin tumbuh.

Dan cinta seperti ini... nggak bisa dibeli. Nggak bisa dimanipulasi. Tapi bisa kamu bangun—kalau kamu mau jujur, mau terbuka, dan mau sama-sama belajar.


Jadi... apakah cinta bisa tumbuh dari uang?

Mungkin bisa. Karena uang bisa menciptakan ruang yang nyaman. Bisa jadi awal dari kedekatan. Bisa menjadi jembatan untuk saling mengenal. Tapi uang tidak bisa menjamin bahwa perasaan itu tulus. Apalagi bertahan.

Yang menentukan bukan seberapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa dalam hubungan itu dibangun. Dengan kepercayaan, komunikasi, dan pilihan untuk tetap bertumbuh—bersama.


Dan kalau semua itu membuat kita berpikir ulang tentang cinta, mungkin itu pertanda baik.
Karena cinta yang sejati nggak datang dengan jawaban yang cepat.
Ia muncul perlahan, dari pertanyaan-pertanyaan yang kita berani hadapi dengan jujur.

Sekarang tinggal satu pertanyaan yang belum terjawab:
Menurut kamu, cinta itu apa?

2025/06/28

Orang Bilang Aku Hebat. Tapi Kenapa Aku Ngerasa Cuma Beruntung?

Seorang anak muda duduk sendiri di ruangan remang, dikelilingi kertas dan laptop, memandang kosong ke luar jendela seolah mempertanyakan pencapaiannya.

“Imposter syndrome isn’t about being unqualified. It’s about not believing you’re qualified.” – Dr. Valerie Young

Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak lagi pakai topeng?

Kamu ngelakuin sesuatu dengan baik, orang lain kagum, mereka bilang kamu hebat, bahkan sampai menyemangati kamu dengan pujian-pujian yang tulus. Tapi dalam hati kamu ngerasa: "Kok mereka bisa lihat aku sebagus itu ya? Emangnya aku sebagus itu?"

Bukan karena kamu ngerasa nggak ngapa-ngapain. Tapi karena kamu ngerasa semua yang kamu lakuin itu masih jauh dari cukup. Nggak sempurna. Nggak luar biasa. Cuma... ya kebetulan aja berhasil.

Dan kamu takut. Takut ekspektasi orang makin tinggi. Takut suatu hari ketahuan bahwa kamu nggak sepintar, sekuat, atau sehebat yang mereka kira.
Padahal kamu udah berusaha, kamu capek, kamu serius. Tapi tetap aja ada suara kecil yang bilang, “Kamu cuma beruntung.”

Kalau kamu pernah ngerasa begitu, kamu nggak sendirian. Dan yang kamu alami itu punya nama: imposter syndrome.


Apa itu imposter syndrome dan kenapa rasanya kayak pura-pura jadi diri sendiri?

Seseorang menatap cermin dan melihat bayangan dirinya yang lebih percaya diri, mencerminkan rasa ragu terhadap identitas dan pencapaian diri.

“The greatest challenge for people with imposter syndrome is believing their success is deserved.” – Dr. Pauline Clance

Imposter syndrome adalah kondisi psikologis di mana seseorang merasa dirinya tidak layak atas pencapaian yang diraih. Meski berhasil, dia tetap merasa dirinya hanya sedang "menipu" orang lain agar terlihat kompeten.

Dan yang menarik, ini bukan dialami orang yang malas atau nggak ngapa-ngapain. Justru yang sering banget ngerasain adalah mereka yang berprestasi, pekerja keras, punya standar tinggi, dan sering kali... perfeksionis.

Aku juga pernah ngerasain itu. Beberapa kali, malah.
Pas dapet feedback positif dari orang yang aku kagumi.
Pas dipuji karena tulisan ini atau karena berhasil menyelesaikan proyek.
Bukannya senang, aku malah overthinking. Kayak lagi duduk di kursi yang terlalu tinggi buat ukuran diri sendiri.

Dan rasanya... nggak nyaman. Banget.


Pujian yang tulus bisa terasa seperti beban tak terlihat

Sosok utama berdiri di tengah kerumunan yang bertepuk tangan, tapi wajahnya menunduk, menunjukkan ketidaknyamanan saat menerima pujian.

“Sometimes it’s not about being humble. It’s about being afraid we’re not enough.” – BrenĂ© Brown

Banyak orang berpikir bahwa dipuji itu hal yang menyenangkan. Dan memang, dalam banyak situasi, iya. Tapi buat yang lagi dilanda imposter syndrome, pujian justru bisa jadi hal yang membingungkan.

Waktu orang bilang kamu hebat, kamu malah mikir,
"Tapi tadi aku banyak salah, mereka aja nggak nyadar."
"Ah, mereka cuma ngomong gitu biar sopan."
"Kalau disuruh ngulang besok, belum tentu aku bisa."

Semua pikiran itu muncul otomatis. Dan lama-lama bikin kamu jadi ragu sama pencapaianmu sendiri.
Bukannya percaya diri, kamu malah defensif. Bukannya merasa cukup, kamu makin merasa kurang.

Dan yang lebih rumit, kamu nggak tahu harus cerita ke siapa. Soalnya dari luar, semua orang ngelihat kamu baik-baik aja.


Kenapa kita bisa sampai ngerasa kayak gitu?

Seorang duduk dikelilingi dua bayangan yang mewakili ekspektasi dan kritik, menunjukkan tekanan internal yang membentuk imposter syndrome.

“We accept the love we think we deserve.” – Stephen Chbosky

Bisa jadi jawabannya panjang. Tapi yang sering muncul itu begini:

Kita tumbuh di lingkungan yang lebih sering menunjukkan kesalahan daripada apresiasi. Kita terbiasa merasa harus jadi sempurna dulu baru boleh bangga. Harus 100% bener dulu baru layak dibilang berhasil.

Atau... kita punya standar tinggi banget buat diri sendiri. Standar yang bahkan kadang nggak realistis. Jadi, meskipun kita udah sampai titik tertentu, kita tetap ngerasa belum layak. Masih kurang. Masih nggak sehebat orang kira.

Ada juga faktor sosial. Dunia sekarang serba kelihatan. Media sosial bikin orang lain terlihat begitu "on fire", begitu produktif, begitu sukses.
Dan tanpa sadar, kita merasa pencapaian kita nggak ada apa-apanya dibanding mereka.

Itulah kenapa imposter syndrome muncul diam-diam.
Dia nggak datang waktu kita gagal. Tapi waktu kita berhasil.
Dan itu yang bikin kita makin bingung.


Kamu berhak menerima pujian, bahkan kalau kamu masih merasa belum cukup

Sosok yang ragu menaiki anak tangga kecil menuju panggung, sambil membawa bunga dan tulisan “proses,” simbol keberanian menerima apresiasi.

“You can be a masterpiece and a work in progress at the same time.” – Sophia Bush

Kita sering lupa: bahwa perjalanan itu bernilai, bukan hanya hasilnya.
Kita lupa bahwa keberanian untuk mencoba, ketekunan dalam menjalani, dan konsistensi sekecil apapun—itu semua layak dihargai.

Nggak ada yang bilang kamu harus sempurna.
Tapi kamu punya hak untuk diakui. Untuk dilihat. Untuk didengarkan.

Mungkin kamu masih belajar. Mungkin kamu belum sehebat yang kamu bayangkan. Tapi itu bukan berarti kamu nggak layak dihargai.

Kalau orang lain bisa melihat usahamu, kenapa kamu sendiri sulit mempercayainya?


Belajar bilang ‘terima kasih’ tanpa rasa bersalah

Seseorang menerima bunga dengan ekspresi haru, melambangkan proses belajar menerima pujian dan kebaikan dari orang lain.

“Let your confidence speak louder than your self-doubt.” – Robin Sharma

Menerima pujian itu bukan berarti kamu sombong.
Itu tanda bahwa kamu mulai bisa berdamai dengan prosesmu sendiri.

Awalnya memang canggung.
Kita pengin banget bilang, “Tapi aku sebenernya belum sehebat itu kok...”
Tapi pelan-pelan, kita bisa belajar untuk cukup bilang:
“Terima kasih.”

Tanpa pembelaan. Tanpa penolakan. Tanpa rasa bersalah.
Karena yang kamu terima bukan pujian kosong. Tapi bentuk apresiasi atas hal yang mungkin justru nggak kamu sadari sudah kamu lakukan dengan baik.


Kamu nggak sedang menipu siapa pun. Kamu sedang belajar percaya sama diri sendiri

Sosok berdiri di depan jendela dengan cahaya pagi, tampak tenang memandangi hari baru setelah melewati proses panjang.

“Stop shrinking to fit into places you’ve outgrown.” – Michaela Chung

Sampai kapan kamu mau terus meragukan dirimu sendiri?

Kamu bukan sedang nipu siapa-siapa. Kamu nggak pura-pura jadi hebat.
Kamu cuma belum terbiasa melihat dirimu seterang itu.

Kalau hari ini kamu merasa nggak pantas, coba lihat lagi ke belakang.
Lihat seberapa jauh kamu berjalan. Lihat hal-hal yang kamu selesaikan diam-diam. Lihat luka yang sudah kamu sembuhkan sendirian.

Dan kalau ada orang yang bilang kamu hebat, mungkin itu bukan karena mereka salah lihat.
Tapi karena mereka bisa melihat sisi yang kamu sendiri masih belum berani akui.


Kamu boleh tetap rendah hati. Tapi jangan terus meremehkan diri.
Kamu nggak harus merasa hebat hari ini, tapi kamu boleh merasa cukup.

Karena mungkin… kamu memang cukup.
Dan kamu memang pantas untuk dilihat, dipuji, dan dipercaya.

 

2025/06/20

Kenapa Makin Banyak Orang Milih JOMO daripada Ikut Tren? Ini 5 Alasan yang Mungkin Juga Kamu Rasain

Ilustrasi seseorang menikmati ketenangan di balkon saat senja sebagai simbol JOMO.

"You don’t have to show up for everything. Sometimes, your peace is more important than your presence." —Unknown

Sekarang, kayaknya kita hidup di dunia yang terus ngajak kita buat ikutan. Ikut tren. Ikut event. Ikut challenge. Bahkan ikut mikirin hidup orang lain. Ada yang lagi healing ke Bali, kita jadi ngerasa butuh liburan juga. Temen baru mulai bisnis, kita jadi kepikiran harus mulai sesuatu juga. Padahal... kadang kita sendiri aja lagi capek.

Dan di tengah hiruk-pikuk itu, muncul satu pilihan yang makin banyak orang ambil: JOMO.

Tapi sebenernya, JOMO itu apa sih?

JOMO, atau Joy of Missing Out, adalah kebalikan dari FOMO (Fear of Missing Out). Kalau FOMO bikin kita takut ketinggalan, JOMO ngajak kita buat tenang saat memilih untuk nggak ikut. Bukan karena nggak peduli, tapi karena sadar: nggak semua hal harus kita ikuti. Dan nggak ikut, bukan berarti kita kalah.

JOMO bukan cuma tentang "nggak mau tahu." Tapi tentang sadar memilih. Tentang nikmatnya bilang "nggak dulu," tanpa merasa bersalah. Tentang tenangnya punya ruang sendiri tanpa harus selalu ada di tengah keramaian. Dan yang paling penting, JOMO bukan pelarian, tapi proses berdamai.

Nah, sekarang pertanyaannya: kenapa sih JOMO jadi makin relevan buat banyak orang hari ini?

1. JOMO muncul dari rasa capek yang nggak kelihatan

Ilustrasi seseorang merasa lelah dengan tekanan sosial dan banyaknya notifikasi.

"Burnout is what happens when you try to avoid being human for too long." —Michael Gungor

Banyak dari kita terlalu sering pura-pura kuat. Kita takut ketinggalan. Takut dianggap nggak produktif. Takut nggak relevan. Akhirnya, kita kejar semua hal yang sedang tren, biar bisa tetap "ada." Tapi sadar nggak, makin dikejar, kita makin kosong.

Capeknya bukan cuma fisik, tapi juga mental. Kayak ada beban terus-terusan harus tampil oke, harus punya cerita, harus kelihatan sibuk. Padahal mungkin kita cuma pengen duduk tenang, tanpa perlu menjelaskan apa-apa.

JOMO itu bukan bentuk kemalasan. Tapi reaksi wajar dari tubuh dan pikiran yang kelelahan. Karena terus-terusan terpapar kesibukan orang lain, kita jadi lupa mengenali kebutuhan diri sendiri. Kita sibuk membandingkan, sampai lupa bertanya: "Aku maunya apa, sih?"

Makanya JOMO terasa menenangkan. Karena akhirnya kita kasih ruang untuk diri sendiri. Bukan ruang untuk tampil. Tapi ruang untuk merasa. Buat banyak orang, ini bukan pilihan gampang. Tapi justru karena itu, keputusan ini terasa berharga.

2. Hidup nggak harus selalu kelihatan menarik

Ilustrasi seseorang membaca buku dengan tenang sebagai simbol memilih kesederhanaan dan ketenangan.

"Sometimes the most productive thing you can do is relax." —Mark Black

Kita hidup di zaman di mana hal-hal menarik itu harus ditunjukin. Harus ada bukti. Harus ada yang bisa dipamerin. Dan dari situlah tekanan muncul. Seolah kalau kita nggak update, kita nggak cukup keren.

Kadang yang paling bikin lelah itu bukan pekerjaan atau tugas, tapi beban harus kelihatan baik-baik aja. Kita kayak merasa wajib menyenangkan orang lain. Wajib terlihat aktif. Wajib terus punya pencapaian.

Padahal nggak semua hal perlu diekspos. JOMO hadir untuk ngingetin kita bahwa kehidupan pribadi yang sederhana juga berharga. Kadang, justru momen paling bermakna itu nggak pernah masuk Instagram.

Dan ternyata, hidup yang tenang itu bukan hidup yang sepi pencapaian. Tapi hidup yang nggak lagi butuh validasi. Kita tetap bisa berkembang, bahkan saat kita terlihat diam.

3. Kita mulai sadar: ikut tren terus-terusan itu melelahkan

Ilustrasi seseorang bingung melihat tren yang terus berubah dan menyesakkan.

"Trendy is the last stage before tacky." —Karl Lagerfeld

Coba deh renungin, berapa kali kita ikut tren bukan karena suka, tapi karena takut ketinggalan? Sering banget, kan? Apalagi sekarang semua hal bisa viral dalam semalam. Rasanya kalau nggak ikut, kita kayak "nggak update."

Tapi masalahnya, tren itu nggak ada habisnya. Selalu berubah. Dan kalau kita terus-terusan ngejar, ujung-ujungnya cuma capek sendiri. Kita kehilangan arah karena terlalu sibuk jadi versi orang lain.

Yang lebih bahaya lagi, kita jadi susah mengenali diri sendiri. Mau apa aja kita jadi bingung. Karena hidup terlalu banyak ditentukan dari luar. Dari apa kata orang. Dari apa yang kelihatan keren. Dari ekspektasi yang bahkan bukan milik kita.

JOMO ngajak kita buat berhenti sejenak dan nanya ke diri sendiri: "Emang ini aku banget? Atau cuma ikut-ikutan doang?" Dan dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itu, pelan-pelan kita nemuin arah yang lebih jujur.

4. Tenang itu mahal, dan JOMO adalah salah satu jalannya

Ilustrasi seseorang menikmati ketenangan alam sambil menjauh dari distraksi digital.

"A calm mind brings inner strength and self-confidence." —Dalai Lama

Semakin dewasa, kita makin sadar bahwa tenang itu bukan hal sepele. Bukan juga hal yang mudah dicapai. Dalam dunia yang bising, tenang justru jadi kemewahan.

Kalau kita pikir-pikir, semua orang sebenarnya pengen tenang. Tapi nggak semua orang mau menempuh jalannya. Karena butuh keberanian buat nggak ikutan, buat bilang tidak, buat memilih diam ketika yang lain ribut.

JOMO menawarkan jalan untuk nyari ketenangan itu. Bukan dengan kabur dari kehidupan, tapi dengan memilih mana yang penting dan mana yang nggak. Kita jadi lebih sadar sama apa yang kita konsumsi, kita ikuti, dan kita pikirin.

Kadang, cukup dengan bilang "nggak" ke hal-hal yang nggak penting, kita bisa dapetin damai yang kita cari-cari dari dulu. Bukan karena dunia berubah, tapi karena kita memilih berhenti mengejar yang bukan milik kita.

5. Pelan-pelan, orang mulai sadar: hidup itu bukan kompetisi

Ilustrasi seseorang memilih jalan hidup yang damai di antara dua pilihan: ramai dan sunyi.

"Comparison is the thief of joy." —Theodore Roosevelt

Waktu kecil kita diajarin buat jadi juara. Waktu remaja, kita disuruh cepet-cepet sukses. Dan waktu dewasa? Kita malah sibuk banding-bandingin hidup sama orang lain.

Padahal, nggak semua orang berangkat dari titik yang sama. Nggak semua orang punya bekal yang sama. Dan yang paling penting: nggak semua orang punya tujuan yang sama.

Tapi makin ke sini, makin banyak yang sadar: hidup itu bukan siapa yang duluan, tapi siapa yang paling jujur sama dirinya sendiri. Kita capek ngikutin standar yang nggak kita tetapkan sendiri.

JOMO bikin kita berani ngambil langkah mundur. Bukan karena nyerah, tapi karena tahu itu bukan arah kita. Biar pelan, asal sesuai. Biar nggak rame, asal damai.

Dan dari situ, kita mulai sadar: hidup yang tenang bukan tentang jadi yang paling cepat, tapi tentang jadi yang paling selaras. Sama waktu. Sama tujuan. Sama diri sendiri.


Jadi kalau sekarang kamu lagi ngerasa tenang walau nggak banyak update, atau milih diem daripada harus selalu hadir, itu bukan kemunduran. Itu JOMO. Dan mungkin, itu justru salah satu pencapaian terbesar yang nggak perlu diumumkan ke siapa-siapa.

2025/06/12

Kenapa Orang yang Pernah Cerita Justru Jadi Pendiam?

Seseorang duduk membelakangi jendela di kamar remang, dengan tatapan kosong dan suasana sunyi. Ilustrasi menggambarkan rasa sepi dan penuh pikiran.

“Orang nggak berhenti bercerita karena nggak punya kata. Kadang mereka berhenti karena pernah disakiti setelah jujur.”

Kadang kita suka bingung kenapa seseorang berubah. Dulu mereka rame, terbuka, gampang cerita apa aja. Sekarang? Sunyi. Kaku. Dingin. Tapi bukan karena mereka gak punya apa-apa lagi buat dibagi—mereka cuma sedang menjaga sesuatu yang pernah pecah.

Banyak orang berubah jadi pendiam bukan karena hatinya kosong, tapi karena hatinya terlalu penuh. Pernah disakiti, pernah diabaikan, atau pernah bikin diri sendiri kecewa karena berharap didengar tapi malah dihancurkan. Diam jadi semacam cara bertahan. Semacam perlindungan terakhir waktu semua cara lain udah gak berhasil.

Kamu mungkin pernah ngerasain itu. Berusaha jujur, berusaha terbuka, berharap dapet pelukan atau pemahaman. Tapi yang kamu terima malah sindiran, ceramah, atau ekspresi datar kayak gak ada yang penting dari ceritamu. Dan sejak itu, kamu mulai berpikir, “cerita itu gak aman.”


Ketika bercerita malah jadi luka pertama

Dua orang duduk berseberangan, satu mencoba bercerita dengan ekspresi sedih, sementara lawan bicaranya tampak tidak peduli. Ilustrasi tentang kecewa saat mencoba terbuka.

“Yang menyakitkan bukan cuma luka, tapi reaksi orang setelah kita menunjukkan lukanya.”

Waktu kamu akhirnya cerita, kamu pikir kamu udah berani. Butuh keberanian luar biasa buat buka luka, buat ngomong sesuatu yang biasanya kamu tahan mati-matian. Tapi ternyata, yang bikin sakit bukan cuma apa yang kamu alami—melainkan gimana orang lain ngerespon saat kamu jujur.

Ada yang ketawa. Ada yang anggap enteng. Ada yang malah bawa-bawa pengalaman mereka sendiri seolah-olah itu kompetisi siapa yang paling menderita. Padahal kamu cuma butuh tempat buat ngelepas sedikit beban. Bukan ditambahi lagi.

Lama-lama kamu jadi mikir, mungkin masalahnya di kamu. Mungkin kamu memang terlalu sensitif. Mungkin kamu terlalu banyak mikir. Mungkin kamu memang lebay. Dan kamu mulai menarik diri, bukan karena gak punya cerita, tapi karena kamu sendiri udah gak yakin apakah ceritamu layak untuk didengar.

Kamu belajar diem bukan karena kuat, tapi karena gak punya ruang buat nyalain suara.


Diam bukan tanda kuat. Tapi kadang satu-satunya cara bertahan

Seseorang duduk sendirian di bangku taman dengan tubuh tertunduk dan wajah lelah, dikelilingi oleh suasana ramai tapi jauh. Gambar menggambarkan perasaan terasing dan menarik diri.

“Orang diam bukan karena tak ingin bicara, tapi karena tak tahu lagi harus bicara ke siapa.”

Kamu tahu rasanya pengin cerita tapi gak tahu ke siapa? Atau tahu ke siapa, tapi sadar kamu harus edit-edit dulu ceritanya biar gak disalahpahami? Kamu mulai menghitung: siapa yang aman? siapa yang bisa dipercaya? siapa yang gak akan pakai ceritamu sebagai senjata balik?

Dan dari semua pertanyaan itu, kamu mulai capek. Capek memilah. Capek pura-pura. Capek berharap. Maka kamu pilih yang paling gak berisiko: diam.

Padahal kamu tetap pengin dimengerti. Kamu tetap pengin orang lain tahu isi kepalamu, tapi kamu gak sanggup lagi buka semua itu dan dipatahkan. Mendingan pura-pura gak butuh siapa-siapa, daripada cerita dan ngerasa makin sendirian.

Lucunya, dari luar kamu kelihatan baik-baik aja. Tapi dalamnya kamu sibuk ngeyakinin diri: “gak apa-apa kok, sendiri juga gak seburuk itu.”


Kepercayaan itu bisa patah, dan gak selalu bisa disambung lagi

Seseorang menatap cermin dengan ekspresi ragu dan hampa, dengan pantulan wajah yang tidak yakin. Ilustrasi tentang kehilangan kepercayaan dan diri sendiri.

“Sekali hati merasa nggak aman, mulut pun ikut terkunci.”

Kita suka mikir orang pendiam itu gak punya banyak cerita. Padahal mungkin mereka punya terlalu banyak cerita, tapi gak ada yang cukup aman buat nampungnya. Sekali kepercayaan patah, kamu gak bisa langsung pasang lagi dan pura-pura semuanya baik-baik aja.

Butuh waktu lama untuk pulih. Bahkan, kadang kamu gak yakin bisa balik lagi ke versi dirimu yang dulu: yang terbuka, yang percaya, yang gampang cerita soal apa pun.

Kamu mulai membatasi relasi. Gak semua orang kamu izinkan masuk. Kamu belajar jaga jarak—bukan karena gak peduli, tapi karena takut jatuh lagi. Kamu udah cukup tahu rasanya kecewa. Kamu gak sanggup kalau harus ngelewatin itu sekali lagi.

Dan makin lama kamu menyimpan semuanya sendiri, makin kamu terbiasa. Sampai akhirnya, kamu lupa gimana rasanya didengar tanpa harus merasa bersalah duluan.


Kadang kita pura-pura cuek supaya gak kelihatan butuh

Orang terlihat tertawa bersama teman-teman, tapi wajahnya mengarah menjauh dengan senyum yang tidak utuh. Ilustrasi tentang berpura-pura bahagia di tengah keramaian.

“Kalau gak ada yang nanya, aku gak akan cerita. Tapi dalam hati, aku pengin banget ada yang peduli.”

Kamu mungkin pernah duduk bareng temen-temen, ikut ketawa, ikut ngobrol, tapi hati kamu kosong. Ada bagian dari dirimu yang pengin banget teriak, “aku gak baik-baik aja, tolong perhatiin aku,” tapi kamu takut dikira nyari perhatian.

Jadi kamu pasang topeng cuek. Kamu jadi orang yang aktif bercanda, aktif dengerin cerita orang lain, aktif jadi penengah. Tapi giliran kamu sendiri yang pengin didengerin, semuanya sunyi. Gak ada yang benar-benar sadar kamu lagi berjuang nahan tangis di balik senyum itu.

Akhirnya, kamu makin jago berpura-pura. Sampai-sampai kamu sendiri bingung, ini kamu beneran baik-baik aja, atau cuma udah kebiasa kelihatan baik-baik aja?


Diam bisa bikin tenang, tapi juga bisa bikin kesepian

Seseorang duduk di ranjang dalam gelap, hanya diterangi cahaya dari layar ponsel kosong. Gambar menggambarkan kesepian yang tersembunyi di balik diam.

“Yang paling berat bukan jadi pendiam. Tapi jadi pendiam yang diam-diam pengin ada yang peka.”

Menjaga diri dengan diam itu kadang perlu. Ada banyak hal yang gak bisa kita jelaskan ke orang lain. Tapi kalo terus-menerus kamu harus jaga semua rasa sendirian, ada kalanya kamu ngerasa kosong banget.

Diam bisa melindungi. Tapi dia juga bisa menjauhkan kamu dari kehangatan yang kamu butuhin. Kamu pengin denger, “gimana kabarmu beneran?” bukan cuma basa-basi “apa kabar?” Kamu pengin ditanya, bukan cuma didengar karena kamu cerita duluan. Tapi kamu juga sadar, gak semua orang ngerti cara peduli.

Dan dari situ, kamu mulai mengerti: kadang, kamu lebih butuh kedekatan yang tenang daripada perhatian yang rame. Tapi ya itu… tetap aja, kamu kangen dipahami tanpa harus menjelaskan semuanya dari awal.


Tapi jauh di dalam hati, kamu tetap ingin didengar

Seseorang menatap langit malam dari jendela, dengan catatan dan pena di meja. Ilustrasi tentang harapan untuk dimengerti meski hanya dalam diam.
“Manusia tetap manusia: makhluk yang butuh dimengerti, bahkan kalau dia sendiri gak ngerti kenapa sedih.”

Meski kamu terlihat kuat, dalam hati kamu tetap punya harapan kecil: semoga suatu hari ada yang cukup sabar buat dengar kamu tanpa menyela. Semoga ada yang bisa menatap matamu dan bilang, “nggak apa-apa ngerasa kayak gitu, gue ngerti.”

Tapi sampai hari itu datang, kamu belajar memahami dirimu dulu.
Kamu nulis, kamu nangis diam-diam, kamu ngobrol sama diri sendiri.
Kadang kamu marah karena gak bisa marah, sedih karena gak tahu kenapa sedih, dan lelah karena gak tahu kamu lagi lelah soal apa.

Tapi kamu tetap hidup. Tetap bangun tiap pagi. Tetap berusaha jadi manusia yang baik—meski gak ada yang tahu perjuanganmu di dalam.

Dan itu, adalah bentuk kekuatan yang gak semua orang bisa lihat.


Jadi kalau hari ini kamu lebih banyak diam,
Bukan karena kamu gak punya suara.
Bukan karena kamu gak punya cerita.
Kamu cuma sedang belajar memilah:
mana luka yang cukup disembuhkan sendiri,
dan mana yang pantas dipercayakan kepada orang yang benar-benar mau mengerti.


2025/06/08

Ketika Perasaan Datang Tanpa Alasan, Barangkali Itu Cara Diri Kita Bilang “Lihat Aku, Dong”

 

Seorang duduk sendiri di ruangan kosong dengan cahaya lembut dari jendela. Ia memegang cangkir, menatap hampa, dengan bayangan samar dirinya berdiri di belakang—seolah sedang memperhatikannya. Suasana menggambarkan keheningan batin dan rasa kosong tanpa sebab yang jelas.

“Gak semua rasa harus punya nama. Kadang dia cuma pengin disadari.” — anonim

Ada hari-hari yang datang tanpa suara.
Pagi yang tenang, rutinitas berjalan seperti biasa, gak ada masalah besar. Tapi entah kenapa, rasanya kayak ada yang menggantung di dada.
Bukan sedih. Tapi juga bukan bahagia. Kayak… kosong.

Dan anehnya, kita gak tahu harus cerita ke siapa.
Karena gak ada “alasan kuat” untuk merasa seperti ini.

Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin ini bukan masalah harus cerita ke siapa.
Mungkin ini tentang: kapan terakhir kali kita dengerin isi hati sendiri?


Terlalu sering jalan cepat, kita lupa mampir ke dalam diri sendiri

Seseorang berjalan tergesa di trotoar kota, dikelilingi bayangan orang-orang yang juga terburu-buru. Di tengah keramaian, tampak satu versi dirinya duduk tenang di bangku taman, memandang langit, seperti menunggu untuk didengarkan.

“Kita bisa ke mana-mana, tapi tetap kehilangan arah kalau gak tahu lagi mau pulang ke mana.” — Dee Lestari

Dulu, aku pernah ngerasa kayak gini di tengah malam.
Semua orang udah tidur, tapi pikiranku masih ramai.
Bukan mikirin tugas, bukan deadline, bukan masalah cinta-cintaan. Tapi kayak... ada yang kosong, dan aku gak tahu apa.

Aku buka catatan di HP. Tulis satu kalimat: “Kenapa ya, aku ngerasa kosong?”
Terus diem. Gak ada jawaban.
Dan waktu itu, aku baru sadar: selama ini aku terlalu sibuk jalan, sampai lupa duduk dan nanya, “Aku lagi ke mana sih sebenernya?”

Mungkin kita semua pernah kayak gini.
Terlalu sibuk jadi versi “bermanfaat” dari diri kita: yang bisa diandalkan, yang gak bikin repot, yang keliatan tegar.
Sampai akhirnya lupa nanya: aku sebenarnya masih baik-baik aja gak, sih?


Rasa yang gak jelas bukan berarti gak penting

Wajah seseorang terlihat dalam pantulan cermin yang buram dan berkabut. Di atas kaca tertulis samar dengan jari, “apa yang kamu rasakan?” Menggambarkan kebingungan dalam memahami emosi, tapi tetap mencoba mengenalinya.

“Kalau kamu gak ngerti apa yang kamu rasain, bukan berarti kamu salah. Mungkin kamu cuma perlu lebih tenang dengerinnya.” — Morgan Harper Nichols

Kita hidup di dunia yang suka kejelasan.
Semua harus bisa dijelaskan: kenapa kamu sedih, kenapa kamu capek, kenapa kamu gak semangat.
Tapi kenyataannya, gak semua perasaan datang dengan alasan yang jelas.

Kadang kita cuma ngerasa lelah. Bukan karena aktivitasnya berat, tapi karena terlalu banyak mikir.
Kadang kita ngerasa hampa. Bukan karena hidupnya kosong, tapi karena hati kita udah penuh sama hal-hal yang gak kita sadari.

Rasa yang gak jelas itu bisa jadi sinyal.
Sinyal bahwa ada bagian dari diri kita yang terlalu lama disimpan, ditekan, atau bahkan gak pernah didengar.

Dan justru karena gak jelas, kita jadi ragu buat ngakuin.
Padahal valid, loh.
Kamu boleh ngerasa aneh tanpa harus punya alasan logis.


Bisa jadi, kamu gak lelah karena kerjaan… tapi karena harus terus kuat

Seorang duduk di meja kerja dengan senyum di wajahnya, namun bayangan di dinding memperlihatkan tubuhnya membungkuk lelah sambil memegang kepala. Ilustrasi ini menyorot kontras antara wajah yang ditampilkan dan kelelahan batin yang tersembunyi.

“Berpura-pura gak apa-apa, itu pekerjaan penuh waktu.” — Nayyirah Waheed

Salah satu lelah paling berat adalah lelah karena harus kuat terus.
Gak semua orang ngerti capeknya jadi “anak baik”, “teman penolong”, atau “yang bisa diandalkan.”
Karena jadi kuat itu sering kali artinya: menunda cerita sendiri demi dengerin cerita orang lain.

Tapi siapa yang dengerin kamu?

Kadang kita ngebangun benteng biar orang gak khawatir. Tapi lama-lama benteng itu jadi penjara.
Dan perasaan-perasaan kecil yang kita tekan terus-menerus, suatu hari bisa meledak tanpa aba-aba.

Makanya kalau tiba-tiba kamu ngerasa aneh—padahal gak ada alasan jelas—mungkin itu alarm tubuhmu yang bilang: “Udah ya, jangan pura-pura kuat terus.”


Rasa-rasa kecil yang diabaikan bisa tumbuh jadi luka yang gak kelihatan

Tanaman liar tumbuh dari celah lantai retak di sebuah taman kecil. Di bawah retakan, tampak samar potongan puzzle berbentuk hati tersembunyi. Gambar ini menyimbolkan luka emosional yang tumbuh diam-diam dari rasa-rasa kecil yang tak pernah dihiraukan.

“The feeling you can’t name might be the part of you that needs love the most.” — Yung Pueblo

Aku pernah ngobrol sama seorang teman yang bilang:
“Gue gak kenapa-kenapa, tapi tiap bangun tidur rasanya kayak pengin ngilang.”
Padahal kerjaannya oke, keluarganya baik, temannya banyak. Tapi tetap aja ada ruang kosong yang gak bisa dijelasin.

Aku tanya, “Kamu pernah berhenti dan nanya ke diri sendiri, kamu butuh apa?”
Dia diem lama. Terus bilang, “Belum pernah. Selalu takut ketemu jawabannya.”

Dan di situ aku sadar: banyak dari kita gak takut sedih, tapi takut jujur.
Takut kalau ternyata kita gak sekuat yang kita pikir.
Takut kalau ternyata kita butuh lebih banyak pelukan dari yang kita akui.

Perasaan-perasaan itu gak muncul untuk dilawan. Tapi buat dikenali.
Biar kita tahu, bagian mana dari diri kita yang selama ini paling butuh disayangi.


Kadang, kita cuma butuh diam dan dengerin diri sendiri tanpa tergesa

Seseorang duduk di lantai kamar dengan cahaya lampu hangat. Matanya terpejam, ada buku catatan di pangkuannya, dikelilingi benda-benda personal seperti bantal, lilin, dan tanaman kecil. Ilustrasi ini memancarkan ketenangan dan ruang untuk mendengar isi hati.


“You don’t always need to figure it out. Sometimes you just need to feel it.” — Brianna Wiest

Kamu gak harus selalu produktif buat merasa berarti.
Gak harus selalu semangat buat dibilang sehat.
Gak harus selalu punya jawaban untuk tiap perasaan.

Coba sekali-sekali duduk.
Tutup layar. Turunin bahu. Hening sebentar.

Lalu tanya:
“Kamu lagi kenapa?”
Bukan untuk dijawab cepat. Tapi untuk didengarkan.
Dan percaya deh, kadang hal paling menyembuhkan bukan solusi… tapi keberanian buat hadir penuh di hadapan rasa sendiri.


Kalau hari ini kamu ngerasa aneh, gak apa-apa.
Kalau kamu gak tahu kenapa sedih, gak apa-apa.
Kalau kamu butuh diem tanpa ditanya-tanya, itu valid.

Perasaanmu gak harus bisa dijelaskan untuk bisa diterima.
Cukup kamu hadir. Dengerin. Peluk diri kamu sendiri sebentar.

Karena bisa jadi, rasa itu cuma pengin bilang:

“Aku masih di sini. Tolong, jangan pergi dari aku.”

 

2025/06/06

Jadi Orang Baik Tapi Dunia Cuma Peduli yang Hebat? Gimana Kita Bisa Tetap Bertahan

Seorang anak muda berdiri sendirian di tengah kota yang ramai dan bercahaya, dikelilingi orang-orang berpakaian mewah dan sibuk, sementara dia tampak sederhana dengan tatapan tenang dan cahaya hangat kecil menyinari dari atas kepalanya.

Kadang kamu udah capek-capek nahan emosi, sabar sama orang, bantuin tanpa pamrih, tapi rasanya kayak cuma jadi latar. Orang nggak ngelihat. Dunia kayaknya lebih tertarik sama yang paling bersinar, paling vokal, paling "wah."

Terus kamu mulai mikir: apa gunanya jadi baik?

Bukan karena kamu pengen dipuji. Tapi karena dalam hati kecilmu, kamu pengin banget dipercaya, dihargai, dianggap. Tapi semakin kamu diem, semakin kamu ngalah, semakin kamu ngerasa dilangkahin. Dan rasa sakit itu... diem-diem numpuk.

Makanya tulisan ini bukan buat ngajarin kamu harus gimana. Tapi buat nemenin kamu mikir bareng. Karena mungkin kita nggak sendirian ngerasa kayak gini.

Kebaikan yang nggak kelihatan, tetap ada nilainya

Dua orang duduk berdampingan di halte bus saat hujan turun. Salah satunya diam-diam memayungi temannya tanpa berbicara, dengan ekspresi lembut dan tulus.


"Banyak orang baik yang nggak viral, tapi mereka yang bikin hidup kita tetap waras."

Dunia ini ribut banget. Sosial media bikin semua orang pengen nunjukin sisi paling hebatnya. Tapi kamu tahu apa yang bikin kita bisa tetap napas di tengah hiruk-pikuk itu? Orang-orang yang diam-diam baik. Yang nggak nyari panggung, tapi tetap hadir waktu kita butuh.

Masalahnya, kebaikan itu sering nggak kelihatan. Karena bentuknya kecil. Nggak dramatis. Cuma sekadar nanya "kamu capek nggak?" atau diam-diam bantuin tanpa bilang-bilang. Tapi justru kebaikan kayak gitu yang kadang nyelametin kita dari putus asa.

Kita emang nggak bisa ngukur nilai dari sesuatu yang nggak kelihatan. Tapi bukan berarti itu nggak ada. Kadang, jadi baik itu kayak ngejaga api kecil di tengah angin kencang. Nggak mencolok. Tapi tetap bikin hangat.

Dan hebatnya lagi, mereka yang bisa tetap baik tanpa harus nunjukin, biasanya adalah yang paling sadar siapa diri mereka. Yang nggak butuh validasi dari luar buat terus melangkah. Karena mereka tahu, kebaikan bukan buat pamer, tapi buat bertahan.

Hebat di mata dunia, belum tentu berarti di hati orang lain

Seseorang berdiri di atas panggung dengan lampu sorot terang, wajahnya terlihat lelah dan kosong. Di belakang panggung, seorang teman menunggu dengan membawa air dan senyuman hangat.


"Kadang yang hebat itu cuma kelihatan kuat, padahal hampa."

Orang yang kelihatan hebat di luar sana—punya jabatan, followers banyak, achievement segunung—belum tentu ngerasa penuh di dalam. Banyak dari mereka yang kesepian, ngerasa nggak cukup, bahkan kehilangan diri sendiri.

Bukan berarti kita jadi anti sama yang hebat. Tapi kadang, definisi hebat itu terlalu sempit. Seolah-olah cuma yang perform-nya tinggi yang layak disorot. Padahal jadi orang baik juga butuh keberanian. Butuh pilihan sadar untuk nggak ikutan nyakitin walau disakiti.

Dan lucunya, saat hidup lagi jatuh-jatuhnya, yang kita cari bukan orang yang paling keren. Tapi yang bisa dengerin tanpa nge-judge. Yang bisa duduk bareng tanpa ngerasa lebih tahu. Itu bukan soal siapa yang paling hebat. Tapi siapa yang paling tulus.

Orang yang tulus kadang justru lebih kuat dari yang kelihatan garang. Karena mereka tahu luka, pernah patah, dan tetap memilih nggak jadi pahit. Dan itu, menurutku, lebih layak dihormati daripada sekadar pencapaian yang kelihatan.

Jadi baik itu nggak bodoh, itu keputusan yang kuat

Seseorang berdiri tegak sendirian di tengah kerumunan yang penuh perdebatan. Ia memegang papan kecil bertuliskan “tetap baik” dengan ekspresi wajah yang tenang dan yakin.

"Yang paling diam, seringkali yang paling sadar apa yang sedang dia hadapi."

Nggak sedikit orang yang ngeremehin orang baik. Dibilang terlalu lembek, nggak ambisius, gampang dimanfaatin. Padahal, buat tetap jadi baik di dunia yang penuh luka, itu nggak gampang. Justru itu butuh kekuatan.

Orang baik bukan berarti nggak punya batas. Bukan berarti harus terus ngalah atau ngerelain segalanya. Tapi mereka tahu kapan harus bilang cukup, tanpa harus nyakitin balik. Dan itu nggak semua orang bisa lakuin.

Kalau kamu pernah ngerasa lelah jadi baik, itu wajar. Tapi jangan buru-buru mikir kamu lemah. Mungkin kamu justru kuat banget karena bisa bertahan tanpa harus berubah jadi orang yang sama kayak mereka yang nyakitin kamu.

Kebaikan itu bukan kelemahan. Itu komitmen. Komitmen buat nggak nambahin luka baru, bahkan saat kamu sendiri lagi berdarah. Dan hanya orang-orang tertentu yang bisa konsisten sama komitmen itu.

Dunia mungkin nggak selalu adil, tapi kamu bisa tetap waras

Seorang perempuan muda duduk tenang di kamar yang hangat, menulis di buku catatan sambil tersenyum tipis. Di luar jendela tampak kota malam yang sibuk dan penuh cahaya dari gedung-gedung.


"Jadi baik bukan soal pamer. Tapi soal kompas."

Iya, dunia nggak selalu ngasih panggung buat orang yang paling tulus. Kadang yang paling nyebelin malah yang paling dapet spotlight. Tapi apa kita harus jadi kayak mereka biar dianggap?

Nggak harus. Karena jadi baik itu bukan buat dunia. Tapi buat kita sendiri. Buat ngerasa damai waktu kepala ditaruh di bantal. Buat nggak kehilangan arah di tengah semua tekanan.

Kita nggak bisa kontrol siapa yang dihargai. Tapi kita bisa pilih siapa kita mau jadi. Dan kalau kamu memilih untuk tetap baik, meski dunia nggak selalu ngerti... kamu luar biasa.

Dan kamu nggak sendirian.

Kalau dunia nggak bisa kasih ruang buat kamu yang tulus, bukan berarti kamu salah tempat. Mungkin kamu justru jadi bagian dari sedikit orang yang bikin dunia ini tetap bisa dipercaya. Dan itu, percaya deh, lebih berarti dari yang kamu kira.

 

Hidupmu Penuh Tapi Gak Kerasa? Waspada Digital Clutter!

Pernah nggak kamu ngerasa otak penuh padahal nggak ada hal besar yang sedang terjadi? Anehnya, bukan karena masalah besar atau tugas kampus ...