"The world breaks everyone, and afterward, many are
strong at the broken places."
—Ernest Hemingway
Orang jahat nggak selalu terlahir jahat. Kadang, mereka
adalah orang-orang yang dulunya baik, tulus, dan penuh empati—sampai akhirnya
sesuatu mengubah mereka.
Mungkin kamu pernah bertanya, “Kok dia sekarang jadi begitu
ya? Padahal dulu ramah banget.” Atau kamu sendiri pernah ngerasa: “Aku nggak
lagi kayak dulu…”
Kenapa orang yang dulunya lembut bisa berubah jadi dingin?
Kenapa seseorang yang dulunya pengertian, sekarang malah terasa menyakitkan? Di
balik perubahan itu, ada luka yang nggak semua orang tahu.
Luka yang nggak pernah diobati, lama-lama bisa jadi racun
"Rasa sakit yang dipendam bisa berubah jadi
kebencian."
—Anonim
Orang yang baik biasanya percaya bahwa kebaikan akan dibalas
kebaikan. Tapi saat kenyataan nggak sesuai harapan—misalnya, dikhianati,
dimanfaatkan, atau terus-menerus disakiti—muncullah luka yang dalam.
Awalnya mereka cuma kecewa. Lalu mulai menjaga jarak. Dan
tanpa sadar, mereka menaruh curiga ke siapa pun yang datang.
Tameng dipasang bukan untuk menyakiti, tapi untuk melindungi
diri. Tapi kalau terus dipakai, tameng itu bisa berubah jadi tembok tinggi yang
bikin orang lain ngerasa dijauhkan.
Kayak seseorang yang dulu gampang bilang “nggak apa-apa”
tiap kali dibohongi, tapi lama-lama jadi cuek banget tiap diajak ngobrol.
Bukan karena dia nggak peduli lagi—dia cuma udah terlalu sering kecewa sama
harapan yang nggak ditepati.
Di titik ini, mereka tampak seperti orang yang ‘berubah’,
padahal sedang berusaha bertahan.
Niatnya cuma pengen kuat, tapi malah kehilangan arah
"Kebanyakan dari kita jadi keras bukan karena ingin,
tapi karena merasa harus."
—Najwa Shihab
Setelah disakiti berkali-kali, banyak orang mulai merasa
bahwa kelembutan adalah kelemahan. Bahwa jadi baik hanya akan membuat mereka
dimanfaatkan.
Jadi mereka belajar untuk bersikap dingin. Belajar untuk
tidak menunjukkan emosi. Belajar untuk memutus hubungan sebelum terlalu jauh
terlibat.
Dan dari luar, itu terlihat seperti perubahan yang drastis.
Seolah mereka kini jadi pribadi yang kasar, tertutup, bahkan egois.
Padahal mungkin dulu dia adalah orang yang selalu nanya
kabar duluan. Tapi setelah berulang kali diabaikan, dia belajar buat diam.
Bukan karena nggak peduli, tapi karena lelah jadi yang paling berusaha.
Tapi pertahanan yang terlalu kuat bisa mengunci seseorang
dari dunia luar. Bukan hanya melindungi dari rasa sakit, tapi juga menjauhkan
mereka dari cinta, kehangatan, dan hubungan yang sebenarnya mereka rindukan.
Karena dalam usaha untuk terlihat kuat, kita kadang lupa
bagaimana rasanya menjadi diri sendiri.
Kadang mereka cuma nggak tahu caranya sembuh
"Not all wounds are visible. And not everyone knows
how to ask for help."
—Morgan Harper Nichols
Luka emosional itu rumit. Nggak kelihatan. Nggak bisa
diobati pakai plester. Dan sering kali… dianggap sepele.
Orang yang terlihat biasa aja mungkin sebenarnya sedang
lelah luar biasa. Orang yang kamu pikir dingin mungkin sedang menahan agar
nggak runtuh. Orang yang kamu kira “berubah,” bisa jadi cuma sedang bingung
bagaimana cara menyembuhkan diri.
Banyak dari mereka yang tidak tahu harus cerita ke siapa.
Mereka takut dianggap lemah. Atau sudah terlalu sering kecewa saat berharap
didengarkan.
Kayak seseorang yang akhirnya berhenti bercerita karena
setiap kali dia buka suara, responnya cuma “yang sabar ya.”
Padahal yang dia butuhin bukan solusi, cuma ingin didengarkan.
Jadi mereka memilih diam. Tapi diam itu bukan damai. Itu
cuma ruang kosong yang makin lama makin gelap. Dan tanpa sadar, mereka mulai
kehilangan arah—bukan karena mereka mau, tapi karena mereka sudah terlalu lelah
untuk mencari jalan pulang.
Tapi bukan berarti semua yang terluka akan berubah jadi
buruk
"Pain shapes us, but it doesn’t have to define
us."
—BrenĂ© Brown
Setiap luka memang punya potensi untuk mengubah seseorang.
Tapi perubahan itu nggak harus selalu mengarah ke sisi yang gelap.
Ada orang yang memilih tetap baik, walau pernah disakiti.
Bukan karena mereka nggak merasa sakit, tapi karena mereka tahu—kalau ikut
membalas dengan kebencian, rasa sakit itu nggak akan pernah benar-benar
selesai.
Mereka yang tetap bersikap hangat, tetap terbuka, dan tetap
percaya… bukan karena mereka bodoh. Tapi karena mereka berani.
Berani tetap jadi manusia, di tengah dunia yang kadang
terasa kejam.
Berani tetap mencintai, meski tahu risikonya.
Berani sembuh, meski prosesnya nggak instan.
Kamu bisa memilih untuk tetap jadi versi terbaik dirimu,
meski pernah terluka
Kalau kamu ngerasa pernah berubah karena luka, itu
manusiawi. Kita semua pasti pernah ada di titik itu. Tapi bukan berarti kamu
harus menetap di sana.
Kamu tetap punya kendali untuk pulang ke versi dirimu yang
lebih tenang, lebih penuh makna. Bukan dengan menghapus luka, tapi dengan
memahaminya.
Pernah jadi baik lalu disakiti bukan akhir dari segalanya.
Justru dari sana kamu bisa belajar: bagaimana cara jadi kuat tanpa kehilangan
hati.
Dan kalau kamu masih berjuang untuk tetap lembut meski sudah
sering dikhianati—aku cuma mau bilang, kamu nggak sendiri. Dan yang kamu
lakukan itu… luar biasa.
Kamu nggak harus kembali jadi seperti dulu. Tapi kamu bisa
tumbuh jadi versi yang lebih utuh. Versi yang tahu bagaimana cara melindungi
diri, tanpa harus mematikan empati.
Kadang, kita nggak butuh jadi versi 'ceria seperti
dulu'—karena mungkin versi itu udah terlalu banyak pura-pura bahagia.
Yang kita butuh justru versi diri yang jujur dan sadar mana luka yang harus
dipeluk, bukan ditolak.
Karena sisi lembutmu itu bukan kelemahan. Itu kekuatan yang
belum tentu dimiliki semua orang.
Jadi kalau suatu hari nanti ada yang bilang, “Kamu
berubah ya?”
Kamu bisa jawab pelan-pelan dalam hati:
“Iya. Tapi aku berubah bukan untuk membalas. Aku berubah
agar bisa melindungi diriku, tanpa kehilangan hatiku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar