2025/07/11

Kenapa Mood Kita Bisa Ikut Jelek Gara-Gara Orang Lain? Ini Penjelasan Emotional Contagion

 

Seorang perempuan duduk sendirian di halte saat suasana mendung, dikelilingi orang-orang yang wajahnya murung. Ia terlihat menyerap suasana emosional di sekitarnya.

"We catch emotions the same way we catch colds." – Daniel Goleman

Ada momen-momen di mana kita gak sedang punya masalah besar, tapi tetap aja rasanya berat. Bukan karena apa yang kita alami, tapi karena suasana di sekitar mulai menempel pelan-pelan ke dalam diri.

Seseorang datang dengan wajah kusut dan cerita yang meledak-ledak. Kita duduk, mendengar, mencoba ada untuknya. Tapi begitu semua selesai, dia pergi lebih ringan… kita yang tertinggal malah jadi kosong.

Aneh, ya? Padahal itu bukan masalah kita. Tapi kenapa rasanya seperti kita ikut terluka?

Di sinilah emotional contagion bekerja. Emosi bisa pindah, tanpa kita minta. Bisa nempel, meskipun kita gak sadar. Dan kalau kita gak jaga-jaga, lama-lama kita kehilangan arah — karena sibuk membawa perasaan yang sebenarnya bukan milik kita.


Emosi bisa menular, bahkan tanpa kata-kata

Dua orang saling menatap diam-diam, satu bahagia dan satu murung. Energi emosional berpindah secara halus tanpa kata-kata.

"Perasaan itu menular, bahkan sebelum sempat diucapkan." – Anonim

Tubuh kita punya sistem luar biasa bernama mirror neurons — semacam cermin emosional di otak yang bikin kita otomatis meniru ekspresi dan perasaan orang lain. Kita gak sadar melakukannya. Tapi itu terjadi setiap hari.

Makanya, waktu teman kamu gelisah, kamu jadi ikut gak tenang. Waktu ada orang marah di ruangan, kamu merasa gak nyaman meski bukan kamu yang dimarahi. Dan waktu seseorang cerita dengan suara sedih, kamu ikut lemas, walau kamu gak tahu persis kenapa.

Emosi itu bisa “nyetrum.”
Dan dalam dunia yang serba cepat ini, kita jarang punya waktu buat bedain mana yang sebenarnya milik kita — dan mana yang hanya menular.


Kenapa kita sering ikut capek habis dengerin orang lain?

Seseorang mendengarkan curhat temannya yang lega, tapi ia sendiri terlihat kelelahan dan kehilangan energi.

"Kamu tidak perlu membakar diri sendiri hanya untuk menghangatkan orang lain." – Anonim

Mungkin kamu orang yang peduli. Mudah tersentuh. Gampang tergerak. Orang lain suka cerita ke kamu. Dan itu hal baik. Tapi tanpa batas, kebaikan itu bisa bikin kamu kelelahan.

Pernah gak, setelah dengerin seseorang curhat panjang, kamu jadi pengen ngurung diri? Atau setelah kerja bareng orang yang negatif terus, kamu jadi kehilangan semangat, bahkan buat hal-hal yang biasanya kamu nikmati?

Itu bukan salahmu. Tapi kamu sedang kehabisan ruang.
Kamu menyerap terlalu banyak, terlalu cepat, tanpa sadar.

Dan kalau dibiarkan, kamu bisa kehilangan kemampuan buat dengar suara hatimu sendiri.


Bukan cuma dari orang, suasana juga bisa nularin

Seseorang berada di ruangan kerja atau rumah dengan suasana murung dan tegang, menunjukkan pengaruh suasana terhadap emosi.

"Kadang bukan masalahnya yang berat, tapi suasana yang kita tempati terlalu penuh tekanan." – Najwa Shihab

Yang menular bukan hanya dari orang ke orang. Kadang, suasananya yang berat — dan kita jadi ikut sesak.

Pernah kerja di kantor yang tiap hari isinya keluhan? Atau tinggal di rumah yang setiap pagi dimulai dengan tegang? Atau sekadar scroll medsos dan isinya berita buruk terus-menerus?

Pelan-pelan, kamu merasa lelah. Kamu gak tahu kenapa, tapi kayak ada yang menyedot energi dari dalam dirimu.
Lingkungan punya energi. Dan kalau kamu gak punya batas, kamu bisa kehilangan dirimu di dalamnya.


Jadi tempat cerita itu mulia, tapi kamu juga manusia

Dua orang berpelukan dengan jarak cahaya lembut di antara mereka, menggambarkan empati dengan batas emosional yang sehat.

"Cinta bukan tentang menyerap luka, tapi tentang hadir tanpa ikut tenggelam." – Anonim

Salah satu tantangan jadi orang empatik adalah, kita sering merasa harus “ikut ngerasain” supaya dianggap peduli. Tapi peduli gak berarti harus ikut terbakar.

Kamu tetap bisa hadir untuk orang lain, tanpa harus menyimpan semua rasa sakit mereka dalam hati.
Kamu bisa peluk mereka, tanpa harus jadi tempat penampungan luka.

Dan gak, itu bukan berarti kamu gak cukup baik. Itu justru berarti kamu tahu cara mencintai dengan sehat — untuk mereka, dan untuk dirimu sendiri.


Tanda kamu sedang tertular emosi orang lain

Seseorang dikelilingi gelembung berisi ekspresi emosi orang lain seperti marah dan sedih, tampak kebingungan membedakan perasaannya sendiri.

"Kalau kamu sering lelah tanpa sebab, mungkin kamu sedang memikul perasaan yang bukan milikmu." – Anonim

Emotional contagion jarang datang dalam bentuk besar. Tapi dia muncul dari hal-hal kecil yang terus berulang.

Beberapa tandanya:

  • Mood kamu naik turun tergantung siapa yang kamu temui
  • Kamu merasa drained setelah ngobrol, meskipun cuma sebentar
  • Kamu mulai menjauh dari hal-hal yang biasa kamu nikmati
  • Kamu sering merasa gelisah atau overthinking tanpa sebab jelas

Kalau tanda-tanda ini muncul, coba berhenti sejenak.
Mungkin kamu sedang membawa terlalu banyak perasaan yang bukan milikmu.


Kenapa emotional contagion sering kita abaikan?

Seseorang menatap cermin yang menunjukkan ekspresi berbeda dari wajah aslinya, menggambarkan kebingungan emosi.

"Kita percaya semua yang kita rasakan itu milik kita, padahal bisa jadi itu hanya ‘oleh-oleh’ dari sekitar." – Anonim

Kita gak pernah diajari untuk bertanya:
“Ini perasaan aku, atau bukan?”

Karena rasanya nyata, kita mengira itu datang dari dalam. Padahal, kita hanya sedang berada terlalu dekat dengan orang atau situasi yang emosinya kuat. Dan kita gak sadar sedang menyerapnya.

Tanpa sadar, kita bawa pulang perasaan orang lain.
Dan pelan-pelan, kita kehilangan kemampuan membedakan mana yang benar-benar dari hati kita… dan mana yang bukan.


Gimana caranya biar gak terus-terusan ketularan?

"You can care deeply and still choose to protect your peace." – Morgan Harper Nichols

Kita gak bisa hidup tanpa orang lain. Tapi kita bisa hidup lebih sehat — kalau tahu batasnya di mana.

Beberapa cara buat jaga energi emosionalmu:

  1. Sadari bahwa kamu peka.
    Kesadaran ini bukan kelemahan. Tapi petunjuk untuk lebih hati-hati.
  2. Beri jeda setelah interaksi yang intens.
    Gak usah buru-buru balas chat, angkat telepon, atau lanjut ngobrol. Diam dulu. Rasain dulu.
  3. Tanya ke diri sendiri:
    “Ini benar-benar perasaanku? Atau ada yang nempel dari luar?”
  4. Batasi konsumsi emosional.
    Termasuk dari media sosial. Kadang bukan dunia nyata yang bikin kita lelah — tapi notifikasi yang gak pernah berhenti.
  5. Punya ruang untuk recharge.
    Entah itu lewat journaling, jalan pagi, atau sekadar duduk tenang sambil ngopi. Pulang dulu ke dirimu sendiri.

Kamu tetap bisa jadi cahaya, tapi kamu juga butuh ruang gelap untuk istirahat

"Boundaries are the distance at which I can love you and me simultaneously." – Prentis Hemphill

Kalau kamu ngerasa makin hari makin gampang capek, makin mudah terpicu, atau gak tahu kenapa perasaanmu jadi berantakan…
Coba tanya sekali lagi:
“Apa yang sebenarnya sedang aku rasakan?”
“Dan apa yang sebenarnya aku bawa dari orang lain?”

Pelan-pelan, kamu bisa belajar memilah.
Mana yang perlu kamu simpan. Mana yang boleh kamu lepas.
Mana yang layak kamu rawat. Mana yang gak perlu kamu tanggung.

Kamu gak harus jadi kuat buat semua orang.
Kamu gak harus ngerti semua masalah orang lain.
Kamu cukup jadi rumah yang nyaman untuk dirimu sendiri.

Karena pada akhirnya, kamu juga butuh seseorang yang bisa menemanimu kembali ke dirimu sendiri.
Dan orang itu… bisa jadi adalah dirimu sendiri. 🌿

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hidupmu Penuh Tapi Gak Kerasa? Waspada Digital Clutter!

Pernah nggak kamu ngerasa otak penuh padahal nggak ada hal besar yang sedang terjadi? Anehnya, bukan karena masalah besar atau tugas kampus ...