2025/06/06

Jadi Orang Baik Tapi Dunia Cuma Peduli yang Hebat? Gimana Kita Bisa Tetap Bertahan

Seorang anak muda berdiri sendirian di tengah kota yang ramai dan bercahaya, dikelilingi orang-orang berpakaian mewah dan sibuk, sementara dia tampak sederhana dengan tatapan tenang dan cahaya hangat kecil menyinari dari atas kepalanya.

Kadang kamu udah capek-capek nahan emosi, sabar sama orang, bantuin tanpa pamrih, tapi rasanya kayak cuma jadi latar. Orang nggak ngelihat. Dunia kayaknya lebih tertarik sama yang paling bersinar, paling vokal, paling "wah."

Terus kamu mulai mikir: apa gunanya jadi baik?

Bukan karena kamu pengen dipuji. Tapi karena dalam hati kecilmu, kamu pengin banget dipercaya, dihargai, dianggap. Tapi semakin kamu diem, semakin kamu ngalah, semakin kamu ngerasa dilangkahin. Dan rasa sakit itu... diem-diem numpuk.

Makanya tulisan ini bukan buat ngajarin kamu harus gimana. Tapi buat nemenin kamu mikir bareng. Karena mungkin kita nggak sendirian ngerasa kayak gini.

Kebaikan yang nggak kelihatan, tetap ada nilainya

Dua orang duduk berdampingan di halte bus saat hujan turun. Salah satunya diam-diam memayungi temannya tanpa berbicara, dengan ekspresi lembut dan tulus.


"Banyak orang baik yang nggak viral, tapi mereka yang bikin hidup kita tetap waras."

Dunia ini ribut banget. Sosial media bikin semua orang pengen nunjukin sisi paling hebatnya. Tapi kamu tahu apa yang bikin kita bisa tetap napas di tengah hiruk-pikuk itu? Orang-orang yang diam-diam baik. Yang nggak nyari panggung, tapi tetap hadir waktu kita butuh.

Masalahnya, kebaikan itu sering nggak kelihatan. Karena bentuknya kecil. Nggak dramatis. Cuma sekadar nanya "kamu capek nggak?" atau diam-diam bantuin tanpa bilang-bilang. Tapi justru kebaikan kayak gitu yang kadang nyelametin kita dari putus asa.

Kita emang nggak bisa ngukur nilai dari sesuatu yang nggak kelihatan. Tapi bukan berarti itu nggak ada. Kadang, jadi baik itu kayak ngejaga api kecil di tengah angin kencang. Nggak mencolok. Tapi tetap bikin hangat.

Dan hebatnya lagi, mereka yang bisa tetap baik tanpa harus nunjukin, biasanya adalah yang paling sadar siapa diri mereka. Yang nggak butuh validasi dari luar buat terus melangkah. Karena mereka tahu, kebaikan bukan buat pamer, tapi buat bertahan.

Hebat di mata dunia, belum tentu berarti di hati orang lain

Seseorang berdiri di atas panggung dengan lampu sorot terang, wajahnya terlihat lelah dan kosong. Di belakang panggung, seorang teman menunggu dengan membawa air dan senyuman hangat.


"Kadang yang hebat itu cuma kelihatan kuat, padahal hampa."

Orang yang kelihatan hebat di luar sana—punya jabatan, followers banyak, achievement segunung—belum tentu ngerasa penuh di dalam. Banyak dari mereka yang kesepian, ngerasa nggak cukup, bahkan kehilangan diri sendiri.

Bukan berarti kita jadi anti sama yang hebat. Tapi kadang, definisi hebat itu terlalu sempit. Seolah-olah cuma yang perform-nya tinggi yang layak disorot. Padahal jadi orang baik juga butuh keberanian. Butuh pilihan sadar untuk nggak ikutan nyakitin walau disakiti.

Dan lucunya, saat hidup lagi jatuh-jatuhnya, yang kita cari bukan orang yang paling keren. Tapi yang bisa dengerin tanpa nge-judge. Yang bisa duduk bareng tanpa ngerasa lebih tahu. Itu bukan soal siapa yang paling hebat. Tapi siapa yang paling tulus.

Orang yang tulus kadang justru lebih kuat dari yang kelihatan garang. Karena mereka tahu luka, pernah patah, dan tetap memilih nggak jadi pahit. Dan itu, menurutku, lebih layak dihormati daripada sekadar pencapaian yang kelihatan.

Jadi baik itu nggak bodoh, itu keputusan yang kuat

Seseorang berdiri tegak sendirian di tengah kerumunan yang penuh perdebatan. Ia memegang papan kecil bertuliskan “tetap baik” dengan ekspresi wajah yang tenang dan yakin.

"Yang paling diam, seringkali yang paling sadar apa yang sedang dia hadapi."

Nggak sedikit orang yang ngeremehin orang baik. Dibilang terlalu lembek, nggak ambisius, gampang dimanfaatin. Padahal, buat tetap jadi baik di dunia yang penuh luka, itu nggak gampang. Justru itu butuh kekuatan.

Orang baik bukan berarti nggak punya batas. Bukan berarti harus terus ngalah atau ngerelain segalanya. Tapi mereka tahu kapan harus bilang cukup, tanpa harus nyakitin balik. Dan itu nggak semua orang bisa lakuin.

Kalau kamu pernah ngerasa lelah jadi baik, itu wajar. Tapi jangan buru-buru mikir kamu lemah. Mungkin kamu justru kuat banget karena bisa bertahan tanpa harus berubah jadi orang yang sama kayak mereka yang nyakitin kamu.

Kebaikan itu bukan kelemahan. Itu komitmen. Komitmen buat nggak nambahin luka baru, bahkan saat kamu sendiri lagi berdarah. Dan hanya orang-orang tertentu yang bisa konsisten sama komitmen itu.

Dunia mungkin nggak selalu adil, tapi kamu bisa tetap waras

Seorang perempuan muda duduk tenang di kamar yang hangat, menulis di buku catatan sambil tersenyum tipis. Di luar jendela tampak kota malam yang sibuk dan penuh cahaya dari gedung-gedung.


"Jadi baik bukan soal pamer. Tapi soal kompas."

Iya, dunia nggak selalu ngasih panggung buat orang yang paling tulus. Kadang yang paling nyebelin malah yang paling dapet spotlight. Tapi apa kita harus jadi kayak mereka biar dianggap?

Nggak harus. Karena jadi baik itu bukan buat dunia. Tapi buat kita sendiri. Buat ngerasa damai waktu kepala ditaruh di bantal. Buat nggak kehilangan arah di tengah semua tekanan.

Kita nggak bisa kontrol siapa yang dihargai. Tapi kita bisa pilih siapa kita mau jadi. Dan kalau kamu memilih untuk tetap baik, meski dunia nggak selalu ngerti... kamu luar biasa.

Dan kamu nggak sendirian.

Kalau dunia nggak bisa kasih ruang buat kamu yang tulus, bukan berarti kamu salah tempat. Mungkin kamu justru jadi bagian dari sedikit orang yang bikin dunia ini tetap bisa dipercaya. Dan itu, percaya deh, lebih berarti dari yang kamu kira.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hidupmu Penuh Tapi Gak Kerasa? Waspada Digital Clutter!

Pernah nggak kamu ngerasa otak penuh padahal nggak ada hal besar yang sedang terjadi? Anehnya, bukan karena masalah besar atau tugas kampus ...