“Imposter syndrome isn’t about being unqualified. It’s
about not believing you’re qualified.” – Dr. Valerie Young
Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak lagi pakai topeng?
Kamu ngelakuin sesuatu dengan baik, orang lain kagum, mereka
bilang kamu hebat, bahkan sampai menyemangati kamu dengan pujian-pujian yang
tulus. Tapi dalam hati kamu ngerasa: "Kok mereka bisa lihat aku sebagus
itu ya? Emangnya aku sebagus itu?"
Bukan karena kamu ngerasa nggak ngapa-ngapain. Tapi karena
kamu ngerasa semua yang kamu lakuin itu masih jauh dari cukup. Nggak sempurna.
Nggak luar biasa. Cuma... ya kebetulan aja berhasil.
Dan kamu takut. Takut ekspektasi orang makin tinggi. Takut
suatu hari ketahuan bahwa kamu nggak sepintar, sekuat, atau sehebat yang mereka
kira.
Padahal kamu udah berusaha, kamu capek, kamu serius. Tapi tetap aja ada suara
kecil yang bilang, “Kamu cuma beruntung.”
Kalau kamu pernah ngerasa begitu, kamu nggak sendirian. Dan
yang kamu alami itu punya nama: imposter syndrome.
Apa itu imposter syndrome dan kenapa rasanya kayak
pura-pura jadi diri sendiri?
“The greatest challenge for people with imposter syndrome
is believing their success is deserved.” – Dr. Pauline Clance
Imposter syndrome adalah kondisi psikologis di mana
seseorang merasa dirinya tidak layak atas pencapaian yang diraih. Meski
berhasil, dia tetap merasa dirinya hanya sedang "menipu" orang lain
agar terlihat kompeten.
Dan yang menarik, ini bukan dialami orang yang malas atau
nggak ngapa-ngapain. Justru yang sering banget ngerasain adalah mereka yang
berprestasi, pekerja keras, punya standar tinggi, dan sering kali...
perfeksionis.
Aku juga pernah ngerasain itu. Beberapa kali, malah.
Pas dapet feedback positif dari orang yang aku kagumi.
Pas dipuji karena tulisan ini atau karena berhasil menyelesaikan proyek.
Bukannya senang, aku malah overthinking. Kayak lagi duduk di kursi yang terlalu
tinggi buat ukuran diri sendiri.
Dan rasanya... nggak nyaman. Banget.
Pujian yang tulus bisa terasa seperti beban tak terlihat
“Sometimes it’s not about being humble. It’s about being
afraid we’re not enough.” – BrenĂ© Brown
Banyak orang berpikir bahwa dipuji itu hal yang
menyenangkan. Dan memang, dalam banyak situasi, iya. Tapi buat yang lagi
dilanda imposter syndrome, pujian justru bisa jadi hal yang membingungkan.
Waktu orang bilang kamu hebat, kamu malah mikir,
"Tapi tadi aku banyak salah, mereka aja nggak nyadar."
"Ah, mereka cuma ngomong gitu biar sopan."
"Kalau disuruh ngulang besok, belum tentu aku bisa."
Semua pikiran itu muncul otomatis. Dan lama-lama bikin kamu
jadi ragu sama pencapaianmu sendiri.
Bukannya percaya diri, kamu malah defensif. Bukannya merasa cukup, kamu makin
merasa kurang.
Dan yang lebih rumit, kamu nggak tahu harus cerita ke siapa.
Soalnya dari luar, semua orang ngelihat kamu baik-baik aja.
Kenapa kita bisa sampai ngerasa kayak gitu?
“We accept the love we think we deserve.” – Stephen
Chbosky
Bisa jadi jawabannya panjang. Tapi yang sering muncul itu
begini:
Kita tumbuh di lingkungan yang lebih sering menunjukkan
kesalahan daripada apresiasi. Kita terbiasa merasa harus jadi sempurna dulu
baru boleh bangga. Harus 100% bener dulu baru layak dibilang berhasil.
Atau... kita punya standar tinggi banget buat diri sendiri.
Standar yang bahkan kadang nggak realistis. Jadi, meskipun kita udah sampai
titik tertentu, kita tetap ngerasa belum layak. Masih kurang. Masih nggak
sehebat orang kira.
Ada juga faktor sosial. Dunia sekarang serba kelihatan.
Media sosial bikin orang lain terlihat begitu "on fire", begitu
produktif, begitu sukses.
Dan tanpa sadar, kita merasa pencapaian kita nggak ada apa-apanya dibanding
mereka.
Itulah kenapa imposter syndrome muncul diam-diam.
Dia nggak datang waktu kita gagal. Tapi waktu kita berhasil.
Dan itu yang bikin kita makin bingung.
Kamu berhak menerima pujian, bahkan kalau kamu masih
merasa belum cukup
“You can be a masterpiece and a work in progress at the
same time.” – Sophia Bush
Kita sering lupa: bahwa perjalanan itu bernilai, bukan hanya
hasilnya.
Kita lupa bahwa keberanian untuk mencoba, ketekunan dalam menjalani, dan
konsistensi sekecil apapun—itu semua layak dihargai.
Nggak ada yang bilang kamu harus sempurna.
Tapi kamu punya hak untuk diakui. Untuk dilihat. Untuk didengarkan.
Mungkin kamu masih belajar. Mungkin kamu belum sehebat yang
kamu bayangkan. Tapi itu bukan berarti kamu nggak layak dihargai.
Kalau orang lain bisa melihat usahamu, kenapa kamu sendiri
sulit mempercayainya?
Belajar bilang ‘terima kasih’ tanpa rasa bersalah
“Let your confidence speak louder than your self-doubt.”
– Robin Sharma
Menerima pujian itu bukan berarti kamu sombong.
Itu tanda bahwa kamu mulai bisa berdamai dengan prosesmu sendiri.
Awalnya memang canggung.
Kita pengin banget bilang, “Tapi aku sebenernya belum sehebat itu kok...”
Tapi pelan-pelan, kita bisa belajar untuk cukup bilang:
“Terima kasih.”
Tanpa pembelaan. Tanpa penolakan. Tanpa rasa bersalah.
Karena yang kamu terima bukan pujian kosong. Tapi bentuk apresiasi atas hal
yang mungkin justru nggak kamu sadari sudah kamu lakukan dengan baik.
Kamu nggak sedang menipu siapa pun. Kamu sedang belajar
percaya sama diri sendiri
“Stop shrinking to fit into places you’ve outgrown.”
– Michaela Chung
Sampai kapan kamu mau terus meragukan dirimu sendiri?
Kamu bukan sedang nipu siapa-siapa. Kamu nggak pura-pura
jadi hebat.
Kamu cuma belum terbiasa melihat dirimu seterang itu.
Kalau hari ini kamu merasa nggak pantas, coba lihat lagi ke
belakang.
Lihat seberapa jauh kamu berjalan. Lihat hal-hal yang kamu selesaikan
diam-diam. Lihat luka yang sudah kamu sembuhkan sendirian.
Dan kalau ada orang yang bilang kamu hebat, mungkin itu
bukan karena mereka salah lihat.
Tapi karena mereka bisa melihat sisi yang kamu sendiri masih belum berani akui.
Kamu boleh tetap rendah hati. Tapi jangan terus meremehkan
diri.
Kamu nggak harus merasa hebat hari ini, tapi kamu boleh merasa cukup.
Karena mungkin… kamu memang cukup.
Dan kamu memang pantas untuk dilihat, dipuji, dan dipercaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar