2025/06/20

Kenapa Makin Banyak Orang Milih JOMO daripada Ikut Tren? Ini 5 Alasan yang Mungkin Juga Kamu Rasain

Ilustrasi seseorang menikmati ketenangan di balkon saat senja sebagai simbol JOMO.

"You don’t have to show up for everything. Sometimes, your peace is more important than your presence." —Unknown

Sekarang, kayaknya kita hidup di dunia yang terus ngajak kita buat ikutan. Ikut tren. Ikut event. Ikut challenge. Bahkan ikut mikirin hidup orang lain. Ada yang lagi healing ke Bali, kita jadi ngerasa butuh liburan juga. Temen baru mulai bisnis, kita jadi kepikiran harus mulai sesuatu juga. Padahal... kadang kita sendiri aja lagi capek.

Dan di tengah hiruk-pikuk itu, muncul satu pilihan yang makin banyak orang ambil: JOMO.

Tapi sebenernya, JOMO itu apa sih?

JOMO, atau Joy of Missing Out, adalah kebalikan dari FOMO (Fear of Missing Out). Kalau FOMO bikin kita takut ketinggalan, JOMO ngajak kita buat tenang saat memilih untuk nggak ikut. Bukan karena nggak peduli, tapi karena sadar: nggak semua hal harus kita ikuti. Dan nggak ikut, bukan berarti kita kalah.

JOMO bukan cuma tentang "nggak mau tahu." Tapi tentang sadar memilih. Tentang nikmatnya bilang "nggak dulu," tanpa merasa bersalah. Tentang tenangnya punya ruang sendiri tanpa harus selalu ada di tengah keramaian. Dan yang paling penting, JOMO bukan pelarian, tapi proses berdamai.

Nah, sekarang pertanyaannya: kenapa sih JOMO jadi makin relevan buat banyak orang hari ini?

1. JOMO muncul dari rasa capek yang nggak kelihatan

Ilustrasi seseorang merasa lelah dengan tekanan sosial dan banyaknya notifikasi.

"Burnout is what happens when you try to avoid being human for too long." —Michael Gungor

Banyak dari kita terlalu sering pura-pura kuat. Kita takut ketinggalan. Takut dianggap nggak produktif. Takut nggak relevan. Akhirnya, kita kejar semua hal yang sedang tren, biar bisa tetap "ada." Tapi sadar nggak, makin dikejar, kita makin kosong.

Capeknya bukan cuma fisik, tapi juga mental. Kayak ada beban terus-terusan harus tampil oke, harus punya cerita, harus kelihatan sibuk. Padahal mungkin kita cuma pengen duduk tenang, tanpa perlu menjelaskan apa-apa.

JOMO itu bukan bentuk kemalasan. Tapi reaksi wajar dari tubuh dan pikiran yang kelelahan. Karena terus-terusan terpapar kesibukan orang lain, kita jadi lupa mengenali kebutuhan diri sendiri. Kita sibuk membandingkan, sampai lupa bertanya: "Aku maunya apa, sih?"

Makanya JOMO terasa menenangkan. Karena akhirnya kita kasih ruang untuk diri sendiri. Bukan ruang untuk tampil. Tapi ruang untuk merasa. Buat banyak orang, ini bukan pilihan gampang. Tapi justru karena itu, keputusan ini terasa berharga.

2. Hidup nggak harus selalu kelihatan menarik

Ilustrasi seseorang membaca buku dengan tenang sebagai simbol memilih kesederhanaan dan ketenangan.

"Sometimes the most productive thing you can do is relax." —Mark Black

Kita hidup di zaman di mana hal-hal menarik itu harus ditunjukin. Harus ada bukti. Harus ada yang bisa dipamerin. Dan dari situlah tekanan muncul. Seolah kalau kita nggak update, kita nggak cukup keren.

Kadang yang paling bikin lelah itu bukan pekerjaan atau tugas, tapi beban harus kelihatan baik-baik aja. Kita kayak merasa wajib menyenangkan orang lain. Wajib terlihat aktif. Wajib terus punya pencapaian.

Padahal nggak semua hal perlu diekspos. JOMO hadir untuk ngingetin kita bahwa kehidupan pribadi yang sederhana juga berharga. Kadang, justru momen paling bermakna itu nggak pernah masuk Instagram.

Dan ternyata, hidup yang tenang itu bukan hidup yang sepi pencapaian. Tapi hidup yang nggak lagi butuh validasi. Kita tetap bisa berkembang, bahkan saat kita terlihat diam.

3. Kita mulai sadar: ikut tren terus-terusan itu melelahkan

Ilustrasi seseorang bingung melihat tren yang terus berubah dan menyesakkan.

"Trendy is the last stage before tacky." —Karl Lagerfeld

Coba deh renungin, berapa kali kita ikut tren bukan karena suka, tapi karena takut ketinggalan? Sering banget, kan? Apalagi sekarang semua hal bisa viral dalam semalam. Rasanya kalau nggak ikut, kita kayak "nggak update."

Tapi masalahnya, tren itu nggak ada habisnya. Selalu berubah. Dan kalau kita terus-terusan ngejar, ujung-ujungnya cuma capek sendiri. Kita kehilangan arah karena terlalu sibuk jadi versi orang lain.

Yang lebih bahaya lagi, kita jadi susah mengenali diri sendiri. Mau apa aja kita jadi bingung. Karena hidup terlalu banyak ditentukan dari luar. Dari apa kata orang. Dari apa yang kelihatan keren. Dari ekspektasi yang bahkan bukan milik kita.

JOMO ngajak kita buat berhenti sejenak dan nanya ke diri sendiri: "Emang ini aku banget? Atau cuma ikut-ikutan doang?" Dan dari pertanyaan-pertanyaan sederhana itu, pelan-pelan kita nemuin arah yang lebih jujur.

4. Tenang itu mahal, dan JOMO adalah salah satu jalannya

Ilustrasi seseorang menikmati ketenangan alam sambil menjauh dari distraksi digital.

"A calm mind brings inner strength and self-confidence." —Dalai Lama

Semakin dewasa, kita makin sadar bahwa tenang itu bukan hal sepele. Bukan juga hal yang mudah dicapai. Dalam dunia yang bising, tenang justru jadi kemewahan.

Kalau kita pikir-pikir, semua orang sebenarnya pengen tenang. Tapi nggak semua orang mau menempuh jalannya. Karena butuh keberanian buat nggak ikutan, buat bilang tidak, buat memilih diam ketika yang lain ribut.

JOMO menawarkan jalan untuk nyari ketenangan itu. Bukan dengan kabur dari kehidupan, tapi dengan memilih mana yang penting dan mana yang nggak. Kita jadi lebih sadar sama apa yang kita konsumsi, kita ikuti, dan kita pikirin.

Kadang, cukup dengan bilang "nggak" ke hal-hal yang nggak penting, kita bisa dapetin damai yang kita cari-cari dari dulu. Bukan karena dunia berubah, tapi karena kita memilih berhenti mengejar yang bukan milik kita.

5. Pelan-pelan, orang mulai sadar: hidup itu bukan kompetisi

Ilustrasi seseorang memilih jalan hidup yang damai di antara dua pilihan: ramai dan sunyi.

"Comparison is the thief of joy." —Theodore Roosevelt

Waktu kecil kita diajarin buat jadi juara. Waktu remaja, kita disuruh cepet-cepet sukses. Dan waktu dewasa? Kita malah sibuk banding-bandingin hidup sama orang lain.

Padahal, nggak semua orang berangkat dari titik yang sama. Nggak semua orang punya bekal yang sama. Dan yang paling penting: nggak semua orang punya tujuan yang sama.

Tapi makin ke sini, makin banyak yang sadar: hidup itu bukan siapa yang duluan, tapi siapa yang paling jujur sama dirinya sendiri. Kita capek ngikutin standar yang nggak kita tetapkan sendiri.

JOMO bikin kita berani ngambil langkah mundur. Bukan karena nyerah, tapi karena tahu itu bukan arah kita. Biar pelan, asal sesuai. Biar nggak rame, asal damai.

Dan dari situ, kita mulai sadar: hidup yang tenang bukan tentang jadi yang paling cepat, tapi tentang jadi yang paling selaras. Sama waktu. Sama tujuan. Sama diri sendiri.


Jadi kalau sekarang kamu lagi ngerasa tenang walau nggak banyak update, atau milih diem daripada harus selalu hadir, itu bukan kemunduran. Itu JOMO. Dan mungkin, itu justru salah satu pencapaian terbesar yang nggak perlu diumumkan ke siapa-siapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hidupmu Penuh Tapi Gak Kerasa? Waspada Digital Clutter!

Pernah nggak kamu ngerasa otak penuh padahal nggak ada hal besar yang sedang terjadi? Anehnya, bukan karena masalah besar atau tugas kampus ...