"You can't pour from an empty cup. Take care of
yourself first." — Unknown
Kadang kita mikir, jadi orang yang selalu siap dengerin
curhatan orang lain itu tandanya kita peduli. Tapi kenapa ya, lama-lama kok
justru kita yang ngerasa lelah, kosong, dan gak punya ruang buat diri sendiri?
Rasanya kayak semua orang bisa cerita ke kita, tapi giliran kita yang lagi gak
baik-baik aja, gak tahu harus cerita ke siapa.
Dan yang bikin lebih berat, kadang kita gak sadar udah jadi
tempat sampah emosinya semua orang. Selalu siap dengerin, nyariin solusi, jadi
penengah, jadi pendengar, jadi penguat. Tapi... siapa yang nguatin kita?
Lama-lama kita mulai mempertanyakan: emangnya aku sekuat
itu? Kenapa orang lain ngerasa bebas banget untuk berbagi bebannya ke aku, tapi
aku sendiri merasa bersalah kalau pengen cerita? Di situlah letak bahayanya —
ketika empati berubah jadi beban yang gak kelihatan, dan kita tetap senyum
karena gak mau orang lain tahu kita juga bisa rapuh.
Mungkin ini bukan pertama kalinya kamu ngerasa kayak gini.
Bahkan sebelumnya kamu mungkin juga pernah ngerasa hidup ini kayak dipenuhi
urusan orang lain, sampai lupa nanya: “apa kabar diri sendiri hari ini?”
Kadang, jawabannya bisa ditemuin dari pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya
kita anggap sepele.
Menjadi kuat bukan berarti harus menanggung semuanya sendirian
"Being strong means knowing when to ask for help." — Anonymous
Dari kecil, kita mungkin diajarin buat jadi anak yang baik,
yang nurut, yang pengertian. Lama-lama kita tumbuh dengan pola: kalau ada yang
curhat, kita harus dengerin. Kalau ada yang marah, kita harus ngalah. Kalau ada
yang sedih, kita harus hadir.
Tapi batas antara jadi pendengar yang suportif dan jadi
"tempat buangan emosi" itu tipis banget. Dan sering kali, kita gak
diajarin gimana cara pasang batasan.
Di keluarga, mungkin kita terbiasa jadi yang paling sabar.
Di pertemanan, jadi tempat curhat semua orang. Di kerjaan, jadi yang bisa
diandalkan kapan pun. Tapi balik lagi, ketika kamu terus-terusan ngasih ruang
buat orang lain tanpa pernah nyisain buat diri sendiri, itu bukan empati — itu
pengabaian diri.
Mungkin kamu pernah merasa bangga karena jadi orang yang
bisa diandalkan. Tapi di balik semua itu, ada rasa capek yang numpuk diam-diam.
Rasa ingin dimengerti, tapi takut dianggap manja. Rasa ingin berhenti sejenak,
tapi takut ditinggalin.
Gak semua orang yang bilang 'aku butuh kamu' akan balik nanya 'kamu butuh apa?'
"One-sided relationships drain your energy and peace." — Sylvester McNutt III
Pernah gak, kamu jadi orang pertama yang ditelepon temen pas
mereka lagi nangis? Atau jadi pelampiasan emosi keluarga yang lagi stres?
Mungkin awalnya kamu ngerasa bangga, ngerasa dibutuhin. Tapi makin lama, kamu
ngerasa kayak... kok cuma aku yang dengerin mereka, tapi giliran aku butuh
didengerin, gak ada siapa-siapa?
Itu karena banyak hubungan di sekitar kita yang terbentuk
satu arah. Bukan karena mereka jahat, tapi karena kita gak pernah nunjukin
bahwa kita juga butuh ruang.
Kita jadi terlalu terbiasa jadi yang 'kuat', sampai-sampai
orang lupa kalau kita juga manusia. Bahkan mungkin kita sendiri pun lupa, kalau
kita juga punya hak untuk diprioritaskan. Di momen kayak gini, kadang kita
butuh ngelirik lagi ke dalam — ke hal-hal kecil yang selama ini kita abaikan,dan mungkin pernah kita renungkan waktu ngerasa hidup ini terlalu seringtentang orang lain, tapi belum benar-benar kita tanya, apa yang bikin kita
bahagia.
Dan lucunya, kita sering nyalahin diri sendiri. Mungkin kamu
pernah mikir, "Ya udah sih, aku kan emang orangnya sabar." Tapi sabar
juga ada batasnya. Kalau kamu terus nerima tanpa pernah merasa cukup, kamu
bakal hancur pelan-pelan.
Pasang batasan bukan berarti kamu jahat
"Saying no can be the ultimate self-care." — Claudia Black
Capek terus-terusan dengerin masalah orang? Itu valid.
Ngerasa kosong setelah ngobrol sama seseorang? Itu tanda kamu lagi butuh
recharge. Ngerasa gak adil karena selalu jadi tempat curhat tapi gak pernah
dicurhati? Kamu gak lebay.
Dan satu hal yang perlu kamu ingat: kamu gak harus selalu
tersedia.
Kamu boleh banget bilang, "Aku lagi gak sanggup
dengerin sekarang." Kamu boleh matiin HP dulu, biar punya waktu tenang.
Kamu boleh pasang jarak — bukan buat menjauh, tapi buat melindungi diri.
Karena kalau kamu terus-terusan ngasih energi tanpa isi
ulang, lama-lama kamu habis.
Bilang “nggak” itu bukan berarti kamu berhenti peduli.
Justru, itu tanda kalau kamu mulai peduli sama diri sendiri. Kamu berhak punya
ruang yang aman, yang gak bikin kamu ngerasa dituntut terus-terusan.
Dunia gak akan runtuh kalau kamu mulai pilih-pilih siapa yang kamu dengerin
"You teach people how to treat you by what you allow." — Tony Gaskins
Gak semua cerita harus kamu simpan. Gak semua beban harus
kamu pikul. Kadang yang kamu butuhin bukan pelukan dari orang lain, tapi izin
dari diri sendiri buat berhenti jadi penampung semua rasa yang bukan milikmu.
Mulai hari ini, coba deh cek ulang: siapa aja yang ngasih
kamu energi, dan siapa yang nyedotnya habis-habisan?
Karena kamu juga butuh ruang buat dengerin dirimu sendiri.
Bukan cuma jadi bahu untuk orang lain.
Dan kalau kamu udah sampai di titik ini, itu tandanya...
kamu udah mulai sayang sama diri sendiri. Teruskan, ya.
Kamu gak egois karena menjaga diri. Kamu bijak karena tahu
kapan harus berhenti, dan kapan harus bilang, "Aku juga butuh tempat
pulang."
Dan siapa tahu, di tengah perjalanan ini, kamu juga
menemukan alasan untuk berhenti hidup demi orang lain — dan mulai hidup dengan
versi bahagiamu sendiri.