"We are not what we were, but we are not yet what we
will be." – Anonymous
Ada masa dalam hidup yang nggak bisa kamu definisikan dengan
pasti. Rasanya kayak bukan titik awal, tapi juga belum finish. Kamu ngerasa
harus terus jalan, tapi gak tahu pasti tujuannya. Dan di titik itu, kamu mulai
mikir: “Sebenernya, aku ini lagi ngapain sih?”
Itu fase yang kadang orang bilang, “ya gitu deh, lagi masa
transisi.” Tapi kalau kamu yang lagi ngalamin, rasanya lebih dari sekadar
transisi. Rasanya kayak kamu harus pura-pura ngerti, padahal lagi gak ngerti
apa-apa. Kayak harus terus kuat, padahal kamu capek banget.
Dan lebih nyeseknya lagi, kadang gak ada orang yang
bener-bener ngerti. Karena dari luar, kamu kelihatan baik-baik aja. Tapi dalam
hati, kamu ngerasa kayak lagi nyari cahaya di lorong yang lampunya redup. Fase
ini memang gak kelihatan, tapi diam-diam membentuk kamu jadi siapa nantinya.
Identitas yang Masih Mencair
"The privilege of a lifetime is to become who you
truly are." – Carl Jung
Waktu kecil, identitas kita dibentuk dari luar: nilai rapor,
komentar guru, harapan orang tua. Kita jadi versi yang orang lain pengen. Tapi
makin gede, kita mulai nanya: “Apa iya ini aku?”
Pertanyaan itu muncul bukan karena kita rebel. Tapi karena kita mulai sadar,
kita punya suara sendiri.
Masalahnya, nyari siapa diri sendiri itu nggak gampang.
Kadang kamu harus coba kerja di tempat yang salah dulu, biar tahu itu bukan
tempat kamu. Kadang kamu harus jatuh cinta sama orang yang salah, biar tahu
kamu butuh orang yang kayak gimana.
Pencarian ini gak instan. Tapi itu bukan berarti kamu tersesat.
Dan di fase ini, penting buat ngasih ruang ke diri sendiri
buat salah, buat nyoba, buat belajar ulang. Karena identitas itu bukan sesuatu
yang langsung kita tahu, tapi sesuatu yang kita bentuk lewat pengalaman dan
kesadaran.
Kamu gak harus langsung nemuin siapa dirimu sekarang. Tapi kamu bisa mulai
dengan jujur: "Aku pengen ngerti diriku lebih baik."
Dewasa Secara Umur, Tapi Belum Siap Dikasih Beban Hidup
"Growing up is losing some illusions in order to
acquire others." – Virginia Woolf
KTP kamu udah bilang kamu dewasa. Tapi kenapa hidup tetap
terasa asing? Kenapa kamu masih merasa butuh panduan hidup, padahal katanya
sekarang kamu yang harus bisa mikirin semuanya sendiri?
Tiba-tiba kamu dihadapkan sama keputusan-keputusan besar:
kerja atau lanjut kuliah, nikah atau fokus karier, ngejar mimpi atau cari aman.
Dan di tengah semua itu, gak ada yang ngajarin kamu cara istirahat, cara bilang
enggak, atau cara bilang “aku belum siap.”
Banyak dari kita tumbuh cepat karena keadaan. Tapi gak semua
dari kita tumbuh utuh. Kadang kamu masih bergulat dengan luka masa kecil yang
belum selesai, sambil dipaksa kelihatan kuat di dunia kerja atau pertemanan
yang kompetitif.
Dan gak apa-apa kalau kamu masih belajar. Gak apa-apa kalau kamu belum bisa
semuanya sekarang.
Jadi, bukan berarti kamu gagal karena masih bingung. Justru
itu tanda kamu lagi belajar jadi dewasa. Dan proses itu gak akan pernah
sempurna — tapi tetap berharga.
Perasaan Tertinggal, Tapi Gak Tahu Sama Siapa
"Comparison is the thief of joy." –
Theodore Roosevelt
Kadang kamu ngerasa tertinggal, tapi bingung: sebenarnya
dari siapa?
Teman-teman udah punya pencapaian masing-masing. Feed Instagram penuh dengan
perayaan: kelulusan, tunangan, kerja baru, travelling ke luar negeri.
Sementara kamu? Masih ngeluh soal jam tidur yang berantakan dan saldo yang
ngos-ngosan.
Tapi kenyataannya, kamu cuma lihat highlight orang lain.
Kamu gak lihat bagian yang gagal, ragu, dan nangis di balik layar. Dan anehnya,
meskipun kamu tahu itu, tetap aja rasa banding-bandingin itu muncul.
Fase ini sering bikin kamu ngerasa gak cukup. Ngerasa kamu
harus ngebut, ngejar, membuktikan. Padahal kamu gak perlu menang dari
siapa-siapa. Yang penting kamu terus bergerak.
Setiap langkah kecil kamu itu valid. Dan kadang, diam pun adalah bagian dari
perjalanan.
Ingin Dimengerti, Tapi Gak Mau Diceramahi
"Sometimes, the best way to help someone is just to
be there." – Unknown
Ada kalanya kamu cuma pengen cerita, bukan diceramahi. Tapi
pas kamu buka suara, yang datang malah saran-saran klise: “ya udah dijalanin
aja,” “ikhlasin,” “mungkin ini udah jalannya.”
Padahal kamu cuma pengen ada yang bilang: “iya, aku ngerti kamu capek.”
Di fase ini, kamu mulai ngerasa jauh dari beberapa orang
yang dulu deket. Bukan karena kamu sombong. Tapi karena kamu capek pura-pura
kuat.
Makanya kamu mulai nyari circle yang bisa jadi tempat istirahat, bukan tempat
pamer pencapaian.
Dan dari situ, kamu sadar: hubungan itu bukan soal
rame-ramean, tapi soal kenyamanan. Kadang, satu orang yang benar-benar dengerin
lebih berarti dari seratus orang yang cuma datang pas kamu senang.
Momen Sunyi yang Diam-Diam Membentuk Kita
"In the midst of chaos, there is also
opportunity." – Sun Tzu
Fase yang gak jelas ini sering datang bareng kesepian. Kamu
merasa sepi, meskipun lagi bareng banyak orang. Kamu bisa ketawa di
tongkrongan, tapi kosong pas pulang ke kamar.
Dan dari kesepian itu, lahir pertanyaan-pertanyaan penting:
“Aku sebenernya pengen hidup kayak gimana?”
“Kalau semua orang pergi, aku masih bisa berdiri gak?”
Momen-momen sunyi ini emang berat. Tapi justru di situlah
kamu belajar. Bukan cuma soal survive, tapi juga soal mengenali dirimu yang
paling dalam.
Gak ada spotlight di sini. Tapi justru di fase gelap ini, kamu belajar nyalain
cahaya sendiri.
Gak ada rumus pasti buat fase ini. Tapi satu hal yang pasti:
kamu gak sendiri. Banyak orang juga lagi berjuang, bahkan mereka yang kamu kira
udah “beres” hidupnya.
Dan itu artinya, kamu gak harus buru-buru sembuh. Gak harus buru-buru berhasil.
Yang penting, kamu tetap jalan.
Mungkin sekarang kamu belum tahu kamu siapa, atau kamu belum
tahu kamu mau jadi apa.
Tapi kamu lagi di fase penting — fase yang ngajarin kamu buat ngerti, nerima,
dan bertumbuh.
Jangan anggap ini masa “nggak jelas.” Karena justru di sinilah arah hidupmu
mulai kelihatan, pelan-pelan.
Tenang. Kamu nggak sendirian. Dan kamu akan sampai ke
tujuanmu, dengan cara dan waktu kamu sendiri. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar