2025/11/06

Pacaran Zaman Sekarang: Realistis Atau Matre?

Ilustrasi pasangan muda yang duduk berdampingan di kafe modern, tampak serius berdiskusi soal masa depan dan keuangan.

 Hubungan di zaman sekarang itu bukan sekadar dua orang yang saling suka lalu berjalan berdua ke arah matahari terbenam. Kalau hidup sesederhana itu, mungkin kita semua sudah bahagia sejak lama. Tapi dunia berubah. Hidup berubah. Dan caranya kita memandang cinta pun ikut berubah — bukan karena kita kehilangan hati, tapi karena kita mulai belajar memegang realita.

Kita tumbuh di generasi yang dibesarkan dengan cerita-cerita manis. Tentang pasangan yang memulai dari nol bersama. Tentang berjuang demi cinta. Tentang “yang penting saling sayang dulu”. Dan dulu, mungkin itu cukup. Dulu, biaya hidup belum menanjak sebrutal sekarang. Peluang ekonomi lebih jelas, hidup lebih pelan, tekanan sosial lebih ringan.

Sekarang?
Harga sewa melambung.
Makan sehari tiga kali saja kadang terasa seperti kemewahan.
Bekerja keras tidak selalu menjamin rasa aman.
Dan masa depan? Jauh lebih penuh tanda tanya daripada titik terang.

Di tengah semua itu, cinta masih penting. Selalu penting.
Cuma… mungkin bentuknya berubah.

Bukan lagi sekadar perasaan hangat di dada.
Tapi juga sebuah pilihan sadar untuk bertumbuh, bertanggung jawab, dan saling menopang.

Dan pertanyaan yang sering muncul hari ini:

“Pacaran zaman sekarang itu realistis atau matre?”

Mungkin dulu kita menertawakan pertanyaan ini. Tapi sekarang, siapa pun yang hidup di dunia nyata pasti pernah merenung soal itu — entah dalam hati, atau saat lihat realita di sekitar.


Cinta yang manis itu indah, tapi cinta yang matang itu menenangkan

Dalam diam, banyak anak muda sadar bahwa cinta doang nggak cukup.
Bukan karena kehilangan kepercayaan pada cinta, tapi karena ngerti bahwa rasa sayang aja nggak bisa memikul semua beban hidup.

Kita pernah lihat contoh nyata:
Pasangan yang saling mencintai, tapi akhirnya menyerah karena tekanan finansial.
Yang ribut bukan karena hati berubah, tapi karena dompet nggak bisa diajak negosiasi.
Yang awalnya saling percaya, tapi akhirnya saling menyalahkan karena insecure soal masa depan.

Dan waktu itu terjadi, kita sadar satu hal:
Ketika realita menampar, cinta doang sering kehabisan tenaga.

Bukan berarti cinta nggak berharga.
Justru karena cinta berharga, kita nggak mau ngejalani hubungan cuma dengan modal nekat.

Cinta yang tulus bukan “yang penting bareng”.
Cinta yang tulus adalah, “aku nggak mau kamu capek sendirian.”


Ketika hubungan jadi kolaborasi, bukan kompetisi beban

Ada yang bilang, “kalo cewek minta cowok mapan dulu itu matre”.
Atau “kalo cowok nyari cewek yang bisa bantu mikir masa depan berarti perhitungan”.

Padahal sebenarnya…
bukan soal siapa bayar apa.
bukan soal siapa lebih mampu.
bukan soal siapa lebih mapan duluan.

Tapi soal:
bisa nggak kita hidup saling meringankan, bukan saling membebani.

Keuangan bukan topik romantis. Setuju.
Tapi jarang ada yang bilang jujur kalau stabilitas itu romantis.

Tenang makan bareng tanpa harus mikir besok utang siapa.
Punya tabungan kecil bareng meski pelan.
Saling support karier, bukan saling tarik ke bawah.
Bikin keputusan masa depan tanpa rasa takut.

Cinta itu manis.
Tapi ketenangan adalah bentuk cinta yang dewasa.

Dan untuk sampai ke titik itu?
Kita butuh kedua kaki yang kuat, bukan cuma hati yang hangat.


Bukan nyari sultan, cuma nggak mau hidup sengsara bareng

Realistis itu bukan berarti rakus.
Bukan berarti kita mau pasangan yang bisa bayar semuanya.
Bukan berarti kita nggak mau susah.

Realistis itu:

“Kalau kita susah, kita susah bareng karena usaha, bukan karena malas.”

Anak muda sekarang bukan matre.
Kita cuma nggak mau:

  • Ngebangun hidup dari titik minus

  • Disalahin karena minta stabilitas

  • Jadi korban romantisasi “yang penting cinta”

  • Ketemu pasangan yang bilang “aku sayang kamu”, tapi kabur dari tanggung jawab

Ada bedanya antara “mau hidup lebih baik” dan “mau dimanjakan”.
Dan kita tau bedanya.

Kalau seseorang datang dengan usaha, visi, dan tanggung jawab, kita siap jalan bareng.
Tapi kalau seseorang datang hanya bawa cinta, tapi nggak ada arah, nggak ada rencana, nggak ada usaha?

Itu bukan romantis. Itu bahaya.


Uang bukan segalanya, tapi pengaruhnya nyata

Ada yang bilang cinta nggak butuh uang.
Yang bilang begitu biasanya belum ngerasain bayar listrik sambil nahan napas.

Uang bukan tujuan hubungan.
Tapi uang mengatur ritme kehidupan.

Uang menentukan kita makan apa.
Uang menentukan kesehatan mental kita.
Uang menentukan cara kita istirahat.
Uang menentukan kualitas komunikasi.
Uang menentukan peluang kita meraih mimpi.

Jadi wajar kalau finansial jadi bagian dari diskusi cinta hari ini.
Bukan inti, tapi fondasi.

Kalau cinta duduk di kursi sopir, finansial adalah bensinnya.
Mobil secantik apa pun, tanpa bensin tetap berhenti.


Tapi hati-hati... realistis bisa berubah jadi dingin kalau lupa tujuan

Realistis itu sehat.
Tapi kalau salah arah, bisa berubah jadi hitung-hitungan kejam.

Makanya perlu check-in hati:

Apakah kita pengen hidup layak bareng, atau cuma pengen hidup mewah sendiri?

Ada garis tipis antara:

  • merencanakan masa depan

  • dan menjadikan hubungan sebagai investasi keuntungan pribadi

Yang pertama dewasa.
Yang kedua? Ego yang pakai topeng logika.


Hubungan yang kuat itu bukan soal siapa kaya, tapi siapa mau tumbuh

Kadang kita ketemu orang yang belum mapan.
Tapi dia rajin, punya integritas, punya rencana, mau belajar, mau berkembang.

Dan kita ketemu juga yang tampak siap, tapi hidupnya tanpa arah, memanjakan diri, dan menghindari tanggung jawab.

Mending yang mana?
Jawabannya mudah untuk hati yang jujur.

Karena di ujung hari, bukan uang yang bikin hubungan bertahan.
Tapi karakter.

Uang bisa dicari.
Karakter jarang bisa dibentuk kalau dia sendiri nggak mau.

Cinta yang matang bukan tentang siapa paling hebat.
Tapi siapa paling siap bekerja sama.


Akhirnya, hubungan hari ini butuh dua hal: hati yang tulus, dan pikiran yang sadar

Cinta tetap fondasi.
Tapi realita tetap jendela yang nggak boleh ditutup.

Lembut adalah kekuatan.
Realistis adalah pelindung.

Dan hubungan sehat adalah tempat dua-duanya bertemu.

Karena mungkin jawabannya bukan:

“Pacaran zaman sekarang realistis atau matre?”

Tapi lebih tepatnya:

Pacaran zaman sekarang harus seimbang.
Cinta di hati.
Kesadaran di kepala.
Tanggung jawab di tindakan.

Di dunia yang makin nggak pasti,
kita hanya ingin dua hal:
dicintai, dan tidak dijatuhkan oleh kehidupan.

Dan itu bukan matre.
Itu dewasa.


Sekarang giliran kamu mikir sebentar...

Apa yang kamu cari dalam hubungan?
Seseorang yang bikin kamu berbunga-bunga sesaat?
Atau seseorang yang bikin kamu tenang untuk jangka panjang?

Kalau kamu lagi memperjuangkan kemampuan diri biar jadi partner yang pantas, kamu ada di jalan yang benar.

Kalau kamu menolak hubungan yang bikin hidup makin berat, kamu bijak.

Kalau kamu lagi menata mimpi pelan-pelan sambil menunggu orang yang mau jalan bareng, kamu nggak sendiri.

Cinta masih indah.
Cuma sekarang, kita belajar mencintai dengan pikiran yang waras dan hati yang sadar.

Dan itu bukan hilangnya romantisme.
Itu naik level.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Generasi Overthinking: Ungkap Penyebab Aslinya dan Cara Lepas Total dari Pola Pikiran Buruk

  Kadang kita merasa hidup makin cepat, tapi kepala makin penuh. Badan capek, hati capek, dan pikiran nggak pernah berhenti bersuara. Kita d...