Setiap kali buka media sosial, rasanya dunia ini kayak arena lomba.
Ada yang baru buka bisnis, ada yang baru naik jabatan, ada juga yang posting foto liburan ke luar negeri sambil tulis caption motivasi: “kerja keras gak bakal mengkhianati hasil.”
Dan entah kenapa, walau kita ikut senang lihat orang lain berhasil, ada bagian kecil di diri kita yang pelan-pelan mulai bertanya, “aku kapan ya bisa kayak mereka?”
Tekanan untuk “sukses di usia muda” itu nyata banget.
Kita sering ngerasa dikejar waktu, kayak hidup punya deadline yang gak pernah tertulis tapi terus menghantui.
Usia dua puluh sampai tiga puluh tahun yang katanya masa emas, malah kadang terasa kayak masa penentuan: kalau gak sukses sekarang, seolah-olah nanti udah terlambat.
Padahal, siapa sih yang pertama kali bilang kalau sukses itu harus diraih sebelum umur tiga puluh?
Ada satu kutipan dari Morgan Housel, penulis The Psychology of Money, yang bilang, “Kita sering menilai diri sendiri dengan membandingkan versi awal hidup kita dengan versi terbaik hidup orang lain.”
Dan itu yang sering bikin kita kelelahan — bukan karena gagal, tapi karena kita membandingkan perjalanan yang bahkan gak sebanding.
Kita lupa kalau setiap orang punya waktunya sendiri untuk tumbuh, gagal, dan berhasil.
Di umur-umur ini, hidup sering kali terasa kabur.
Teman seangkatan ada yang udah nikah, ada yang punya rumah, ada yang lagi lanjut kuliah, dan ada juga yang masih bingung harus mulai dari mana.
Dan semuanya sah.
Tapi karena kita hidup di zaman di mana pencapaian bisa dilihat dalam satu geser layar, perasaan gak cukup itu jadi semakin besar.
Kita mulai ngerasa bersalah kalau belum punya apa-apa.
Padahal gak ada yang salah dengan masih belajar, masih nyari arah, atau bahkan masih bingung sama tujuan hidup sendiri.
Kadang, kita terlalu sibuk ngejar ekspektasi yang bahkan bukan milik kita.
Kita kejar kerjaan bagus bukan karena kita suka, tapi karena takut dibilang gak ambisius.
Kita ikut tren investasi bukan karena ngerti, tapi karena takut ketinggalan.
Kita posting pencapaian bukan karena bangga, tapi karena takut dikira gak ngapa-ngapain.
Dan semua itu pelan-pelan bikin kita lupa: apa sebenarnya arti sukses buat diri kita sendiri?
Banyak orang yang hidupnya terlihat sempurna di luar, tapi kalau ditanya jujur, mereka juga masih merasa belum cukup.
Karena ternyata, seberapa tinggi pun kita naik, akan selalu ada orang lain yang kelihatannya lebih tinggi.
Jadi, kalau ukuran sukses selalu kita ambil dari perbandingan, bukankah itu sama aja kayak berlari di lintasan yang gak pernah selesai?
Albert Einstein pernah bilang, “Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value.”
Dan mungkin itu yang mulai kita lupakan di era sekarang — bahwa sukses bukan soal cepat atau lambat, tapi soal makna yang kita bawa dalam perjalanan itu sendiri.
Kita sibuk banget ngejar hasil, sampai lupa menikmati proses.
Kita pengin sampai, tapi gak pernah benar-benar hadir di perjalanan.
Coba pikir deh, berapa banyak waktu yang kita habiskan buat membuktikan diri ke orang lain?
Berapa banyak keputusan yang kita ambil cuma karena takut dianggap gagal?
Kadang, kita lupa kalau hidup bukan panggung yang harus selalu tampil sempurna.
Kita boleh salah, boleh berhenti sebentar, bahkan boleh ganti arah.
Karena sukses yang sesungguhnya bukan soal siapa yang sampai duluan, tapi siapa yang tetap jujur dengan dirinya sendiri di tengah semua tekanan itu.
Ada kalimat dari Anis Mojgani yang aku suka banget: “You are not late. You are not early. You are right on time.”
Kita gak terlambat, gak ketinggalan, dan gak harus buru-buru.
Kita cuma lagi di fase di mana segalanya sedang dibentuk — keyakinan, arah, bahkan cara kita memaknai hidup.
Sukses bukan garis lurus yang bisa diukur dari usia, tapi perjalanan yang penuh tikungan, berhenti, dan mulai lagi.
Lucunya, banyak dari kita yang udah berjuang keras, tapi tetap ngerasa belum cukup sukses.
Mungkin karena selama ini kita lebih sibuk nyari pengakuan daripada kedamaian.
Kita pengin terlihat berhasil, tapi lupa nanya: apakah hati kita juga merasa bahagia dengan yang kita jalani?
Karena percuma terlihat punya segalanya kalau setiap malam masih merasa kosong.
Di umur segini, gak apa-apa kalau kamu belum tahu mau jadi apa.
Gak apa-apa kalau kamu masih berjuang ngerakit hidup pelan-pelan.
Hidup bukan lomba, dan kamu gak harus selalu punya jawaban untuk semua hal sekarang juga.
Yang penting, kamu terus melangkah, sekecil apa pun langkah itu.
Karena arah yang dicari dengan jujur akan lebih bermakna daripada kecepatan yang hanya buat pamer.
Kadang, kita cuma butuh istirahat dari ambisi orang lain.
Butuh waktu untuk diam dan nanya ke diri sendiri, “apa sih yang benar-benar aku mau?”
Sebuah pertanyaan sederhana tapi sering kita hindari, karena jawabannya mungkin gak sesuai dengan ekspektasi dunia.
Padahal di situlah letak kejujuran hidup: ketika kita berani mengejar sesuatu yang bikin hati tenang, bukan cuma terlihat keren di mata orang.
Sukses itu bukan cuma tentang uang, jabatan, atau pengakuan.
Sukses bisa berarti hidup dengan tenang, bisa tidur tanpa beban, bisa bersyukur atas hal kecil setiap hari.
Dan kalau kamu udah bisa ngerasain itu, mungkin kamu udah jauh lebih sukses daripada yang kamu kira.
Pelan-pelan aja.
Kamu gak harus ngebut, gak harus punya semua jawaban sekarang.
Kamu cukup hadir, cukup berusaha, cukup jadi diri sendiri tanpa pura-pura.
Karena kadang, yang kita butuhkan bukan pencapaian besar, tapi keberanian untuk tetap bertahan di hari-hari yang berat.
Akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang tetap bisa tersenyum meski belum sampai ke mana-mana.
Dan kalau malam ini kamu masih ngerasa belum cukup, coba tanya pelan-pelan ke diri sendiri:
“Apakah aku benar-benar gagal, atau aku cuma belum sampai di tempat yang seharusnya?”
Mungkin jawaban itu yang selama ini kamu cari.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar