Kadang ada titik dalam hidup ketika luka yang gak kelihatan mulai terasa lebih
nyata daripada luka apa pun yang bisa dilihat orang lain. Rasanya kayak semua
hal menumpuk dalam diam: kecewa, capek, ketidakpastian, tekanan dari sekitar,
sampai pikiran yang gak bisa berhenti muter. Dan anehnya, saat beban itu udah
kelewat berat, tubuh tiba-tiba ikut nyari cara untuk “bersuara,” seolah dia
bilang, “Hei, aku juga kesakitan, lho.”
Dan di momen-momen seperti itu, sebagian orang akhirnya
melakukan hal yang seharusnya gak mereka lakukan: menyakiti diri sendiri. Bukan
karena ingin terlihat dramatis, bukan karena ingin cari perhatian tapi karena
gak tau lagi harus lari ke mana. Ada yang bilang, “Sakit fisik itu lebih
gampang ditahan daripada sakit di kepala.” Ada pula yang merasa, “Setidaknya
saat tubuh sakit, pikiran berhenti sebentar.”
Kenyataannya, self-harm itu jarang lahir dari niat untuk
benar-benar melukai diri. Kebanyakan justru datang dari upaya bertahan hidup.
Kayak cara aneh untuk bilang kalau dirinya sudah gak kuat lagi, tapi juga gak
tau bagaimana caranya minta tolong.
Kalau kamu pernah ngerasa gitu… tenang. Kamu gak aneh. Kamu
gak sendirian. Dan kamu gak salah.
Kenapa rasa sakit emosional bisa terasa lebih menyesakkan
daripada luka fisik?
Menurut banyak psikolog, otak manusia lebih sulit memproses emosi rumit seperti
kecewa, penolakan, rasa tidak berharga, atau tekanan hidup yang numpuk
bertahun-tahun. Professor Matthew Nock dari Harvard pernah bilang bahwa
self-harm sering muncul bukan karena orang ingin mati, tetapi karena ingin menghentikan
rasa sakit emosional yang terlalu intens meskipun hanya sebentar.
Kalau dipikir-pikir, masuk akal. Manusia itu dari kecil
diajarin cara mengobati luka fisik, tapi gak pernah diajarin cara mengobati
luka batin. Kita tau cara bersihin luka di kulit, tapi kita gak pernah diberi
buku panduan saat hati yang robek pelan-pelan.
Makanya rasa sesak itu suka datang diam-diam: dari
ekspektasi keluarga, dari hubungan yang toksik, dari kuliah atau kerja yang
bikin kewalahan, dari rasa gagal yang dipelihara diam-diam, sampai dari suara
kecil di kepala yang bilang “kamu gak cukup baik.”
Lalu ketika semuanya numpuk, manusia berusaha mencari cara
tercepat untuk mengalihkan rasa sakit itu. Dan sayangnya, self-harm sering
terlihat seperti jalan pintas walau sebenarnya itu jalan yang menyesatkan.
“Orang menyakiti dirinya sendiri bukan karena ingin mati,
tapi karena ingin berhenti merasa sakit.” — Dr. Stephen Lewis, psikolog klinis
Kalimat itu masuk akal banget. Kebanyakan orang bukan ingin
mengakhiri hidup, mereka hanya ingin mengakhiri rasa hancur yang gak kelihatan.
Tapi
kenapa tubuh? Kenapa harus lewat rasa sakit fisik?
Ini yang jarang dibahas, tapi penting.
Beberapa alasannya:
- sakit
fisik mengalihkan fokus dari sakit emosional
- tubuh
mengeluarkan endorfin (hormon yang bikin tubuh “meredakan stres”
secara sesaat)
- kontrol
— ketika hidup terasa gak terkendali, rasa sakit yang diciptakan sendiri
terasa seperti “aku masih bisa mengatur sesuatu”
- dianggap
sebagai hukuman atas kesalahan-kesalahan yang hanya ada di kepala
- merasa
lebih “tenang” setelah melakukannya, walau itu sebenarnya menipu
Tapi semua alasan itu punya satu akar yang sama:
Ada sesuatu di dalam diri yang sedang menjerit minta dilihat.
Sakit fisik itu cuma cara paling cepat tapi bukan cara
terbaik untuk bilang bahwa ada sesuatu yang butuh ditangani.
Kenapa banyak orang yang terlihat kuat justru yang paling
rentan?
Karena mereka terbiasa menahan. Terbiasa bilang “gak apa-apa.”
Terlalu takut merepotkan orang lain.
Terlalu malu terlihat rapuh.
Terlalu sering dipuji kuat sampai lupa kalau dirinya juga manusia.
Kadang, orang yang paling banyak membantu orang lain justru
orang yang tidak pernah ada yang benar-benar mendengarkan mereka. Dan ketika
suara mereka tenggelam, tubuh akhirnya bicara dengan caranya sendiri cara yang
sering kita salah paham.
Terus…
apa yang sebenarnya bisa dilakukan?
Satu hal yang harus kamu tahu:
Self-harm bukan identitas kamu. Itu hanya gejala dari luka yang lebih dalam.
Dan luka itu bisa disembuhkan. Pelan-pelan.
Berikut beberapa langkah kecil yang direkomendasikan
psikolog, dan bisa kamu lakukan tanpa terasa “berat”:
1. Alihkan rasa sakit ke bentuk lain yang tidak
membahayakan tubuh
Menurut terapi DBT (Dialectical Behavior Therapy), ada teknik grounding
seperti:
- menulis
surat untuk diri sendiri
- meremas
es batu
- meremas
handuk basah
- menggambar
di kulit menggunakan spidol
- mencubit
tangan pelan sebagai penanda perasaan tanpa melukai diri
Ini bukan solusi permanen, tapi langkah awal untuk memberi
otak sinyal “aku mencoba cara lain.”
2. Bicara, meski sedikit
Kadang satu kalimat saja cukup:
“Aku lagi gak baik-baik aja.”
Kalau itu terlalu berat, kamu bisa mulai dengan, “Boleh gak aku cerita
sedikit?”
Bicaralah ke orang yang aman—teman, saudara, konselor
kampus, psikolog online.
Gak harus semuanya tumpah sekaligus.
3. Tulis apa yang sebenarnya kamu rasakan
Bukan untuk jadi tulisan bagus. Bukan buat siapa-siapa.
Cuma biar kamu tahu apa yang sebenarnya berat.
Banyak psikolog bilang, menuliskan perasaan bisa menurunkan
intensitasnya hingga 40–50%.
4. Kenali “momen pemicu”
Kapan pikiran itu paling sering datang?
Saat malam, saat sendirian, saat stres?
Saat mulai merasa gak berguna?
Dengan tahu pola ini, kamu bisa mulai menghindari atau
mempersiapkan diri.
5. Minta bantuan profesional
Ini bukan berarti kamu lemah.
Ini justru bentuk keberanian karena kamu memilih untuk hidup.
Psikolog bisa bantu cari akar masalahnya, bukan cuma gejalanya.
Dan kalau
sedang berada di titik paling gelap… satu kalimat ini jangan lupa
“Rasa sakit yang kamu bawa itu nyata, tapi kamu jauh
lebih berharga daripada rasa sakit itu.”
Hidup kamu bukan cuma tentang masa sulit ini.
Kamu bisa patah, kamu bisa jatuh, kamu boleh lelah dan itu bukan hal memalukan.
Yang penting adalah kamu masih ada di sini.
Terakhir…
coba jawab ini dalam hati:)
Kalau bukan karena ingin sembuh, kenapa sampai hari ini kamu masih bertahan
sejauh ini?
Kadang, keberanian itu gak selalu muncul dalam bentuk
keputusan besar.
Kadang keberanian itu cuma tentang memilih untuk tetap hidup hari ini.
Dan kalau kamu bisa bertahan hari ini, mungkin kamu juga
bisa bertahan besok.
Dan besok berikutnya.
Sampai suatu hari nanti kamu bisa bilang:
“Aku bersyukur aku tetap ada di sini.”

Tidak ada komentar:
Posting Komentar