2025/09/18

Quarter Life Crisis Bikin Pusing? 6 Tips Hadapi Hidup Dewasa Tanpa Stres

Anak muda duduk merenung di malam hari, melambangkan quarter life crisis tapi tetap penuh harapan.

 Kamu mungkin pernah merasa kayak lagi naik roller coaster tanpa sabuk pengaman. Umur sudah masuk kepala dua, tanggung jawab makin menumpuk, tapi arah hidup masih samar. Ada yang sudah nikah, ada yang sudah punya karier mapan, sementara kamu masih bingung soal mau ke mana. Nah, inilah yang sering disebut quarter life crisis: masa ketika kebingungan, cemas, dan perbandingan sosial jadi makanan sehari-hari.

Kalau kamu lagi di fase ini, tenang. Kamu bukan satu-satunya. Hidup dewasa memang nggak ada manual book-nya, tapi ada cara supaya fase ini nggak bikin stres berlarut-larut. Yuk, kita bahas enam langkah yang bisa bikin perjalanan ini lebih ringan.


1. Terima bahwa kebingungan itu wajar

Kadang kita lupa kalau kebingungan adalah bagian dari proses. Hidup nggak pernah lurus mulus seperti garis di penggaris. Paulo Coelho pernah bilang, “Hidup sebenarnya adalah tentang berani mengambil langkah, meski jalannya belum jelas.” Kata-kata ini sederhana, tapi pas banget buat kita yang lagi merasa nyasar.

Quarter life crisis justru tanda kalau kamu lagi bertumbuh. Kalau semua jelas sejak awal, mungkin kamu nggak akan belajar banyak. Jadi, jangan buru-buru menyalahkan diri sendiri karena belum punya semua jawaban. Kebingungan adalah ruang kosong tempat ide-ide baru bisa lahir.

Coba deh tarik napas dalam-dalam. Bayangin kalau kamu lagi naik kereta malam, gelap, tapi tetap berjalan ke tujuan. Begitu juga hidupmu sekarang. Gelap bukan berarti berhenti, tapi sedang bergerak ke arah yang belum terlihat.


2. Kurangi perbandingan sosial

Salah satu pemicu stres terbesar di usia 20-an adalah membandingkan diri dengan orang lain. Lihat teman sudah punya pekerjaan tetap, ada yang sudah jalan-jalan ke luar negeri, sementara kamu masih bertanya-tanya soal passion. Media sosial bikin semuanya makin terasa nyata, padahal itu cuma potongan terbaik hidup orang lain.

Theodore Roosevelt pernah mengingatkan, “Comparison is the thief of joy.” Perbandingan memang mencuri kebahagiaan kita. Kalau kamu terus-terusan scrolling sambil merasa gagal, tentu pikiran makin berat.

Coba mulai batasi waktu dengan layar. Alih-alih sibuk melihat pencapaian orang lain, fokuslah pada langkah kecilmu sendiri. Kamu bisa mulai dari hal sederhana: tulis tiga hal yang kamu syukuri hari ini. Sesederhana punya teman ngobrol, sehat, atau bisa makan makanan favorit. Latihan ini bisa bikin kamu sadar bahwa hidupmu juga punya warna yang berharga.


3. Belajar bilang “tidak” tanpa rasa bersalah

Salah satu tantangan terbesar di usia dewasa muda adalah memenuhi ekspektasi banyak orang. Orang tua punya harapan, teman punya ajakan, bos punya target. Akhirnya kita sering merasa harus selalu berkata “ya” meski hati sendiri menolak.

Padahal, berani berkata “tidak” adalah bentuk perawatan diri. BrenĂ© Brown bilang, “Pilihlah keberanian daripada kenyamanan. Katakan tidak pada hal-hal yang mengurasmu, agar kamu bisa berkata ya pada hidup yang lebih bermakna.”

Mulailah dari hal kecil. Kalau capek, tolak ajakan nongkrong dengan jujur. Kalau ada proyek tambahan yang bikin burnout, sampaikan dengan sopan tapi tegas. Ingat, menjaga diri bukan berarti egois. Justru dengan menjaga energi, kamu bisa hadir lebih baik untuk orang lain juga.

Mungkin awalnya nggak enak. Tapi semakin sering kamu melakukannya, semakin terasa ringan. Lama-lama kamu sadar bahwa batasan bukan tembok yang memisahkan, tapi pagar yang melindungi.


4. Fokus pada hal-hal yang bisa kamu kendalikan

Banyak stres di usia 20-an muncul karena kita sibuk mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya di luar kendali. Misalnya: ekonomi global, opini orang lain, atau masa depan yang belum terjadi. Pikiran jadi penuh, hati jadi gelisah.

Epictetus, seorang filsuf Stoik, pernah berkata, “Bukan hal yang terjadi pada kita yang membuat kita menderita, melainkan cara kita bereaksi terhadapnya.” Ini pengingat penting bahwa kendali sejati ada pada respon kita.

Coba bikin dua daftar: satu tentang hal yang bisa kamu kendalikan, satu lagi tentang yang tidak. Kamu bisa mengendalikan jam tidurmu, bagaimana kamu memperlakukan tubuhmu, atau siapa yang kamu biarkan masuk ke hidupmu. Tapi kamu nggak bisa mengendalikan kapan kamu diterima kerja atau apa kata orang lain.

Dengan fokus ke lingkaran kendali, energi jadi lebih terarah. Kamu nggak lagi terjebak dalam kekhawatiran tanpa ujung, tapi bergerak di jalur yang bisa kamu usahakan.


5. Bangun kebiasaan kecil yang konsisten

Banyak orang mengira quarter life crisis bisa selesai kalau kita menemukan jawaban besar: passion, tujuan hidup, atau pekerjaan impian. Padahal, kuncinya sering ada pada kebiasaan kecil yang konsisten.

James Clear, penulis Atomic Habits, menulis, “Kamu tidak naik ke level tujuanmu, kamu jatuh ke level sistemmu.” Artinya, tujuan saja nggak cukup. Sistem—alias kebiasaan harian—lah yang menentukan hidup kita bergerak ke mana.

Mulailah dengan langkah sederhana: tidur lebih teratur, rajin olahraga ringan, atau menulis jurnal lima menit setiap malam. Kebiasaan kecil ini mungkin tampak remeh, tapi mereka memberi pondasi kuat untuk menghadapi badai emosional.

Hidup dewasa memang kompleks. Tapi dengan kebiasaan yang stabil, kamu punya jangkar yang menahanmu tetap tegak, bahkan ketika arus deras menghantam.


6. Ingat bahwa kamu nggak sendirian

Sering kali, quarter life crisis terasa lebih berat karena kita menjalaninya diam-diam. Kita merasa malu cerita, takut dibilang lemah, atau khawatir dianggap nggak dewasa. Padahal, hampir semua orang di usia ini pernah merasakan hal yang sama.

Ada kalimat indah dari Rupi Kaur, “How you love yourself is how you teach others to love you.” Dengan belajar menerima diri, kita juga memberi ruang untuk orang lain memahami kita.

Cobalah buka obrolan jujur dengan teman dekat. Cerita apa adanya, tanpa harus menyembunyikan sisi rapuhmu. Kalau perlu, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Terapis bukan hanya untuk orang yang “sakit jiwa,” tapi juga untuk siapa pun yang ingin mengenal diri lebih dalam.

Kadang, cukup mendengar “aku juga pernah ngerasain itu” dari orang lain sudah bikin hati lebih ringan. Kamu nggak lagi merasa sendirian dalam perjalanan ini.


Akhir kata: hidup bukan balapan

Quarter life crisis memang bikin pusing. Tapi ingat, hidup ini bukan kompetisi lari cepat. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Yang penting bukan siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang bisa menikmati perjalanan dengan penuh makna.

Kamu boleh ragu, kamu boleh berhenti sejenak, tapi jangan pernah kehilangan harapan. Karena setiap kebingungan adalah pintu menuju pemahaman baru. Dan setiap langkah, sekecil apa pun, tetap membawamu lebih dekat pada diri yang lebih ku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sisi Gelap Empati: Saat Terlalu Peduli Justru Menyakiti Diri Sendiri

 Kita tumbuh dengan diajarkan untuk jadi orang baik, untuk peduli, untuk memahami orang lain. “Coba pahami perasaannya,” kata guru, orang tu...