Ada momen di mana hidup tiba-tiba terasa sunyi, seakan kita
sedang menatap ke ujung jalan yang entah kapan akan sampai. Kita sadar bahwa
waktu bukan milik kita sepenuhnya, ada batas yang pelan-pelan mendekat tanpa
kita tahu pasti kapan. Garis kematian itu bukan sekadar bayangan tentang akhir,
tapi juga pengingat paling nyata bahwa hidup ini singkat. Dan justru dari sana,
kita sering menemukan alasan baru untuk lebih menghargai apa yang sedang kita
jalani hari ini.
Seperti kata Seneca, filsuf Stoa: “It is not that we have
a short time to live, but that we waste a lot of it.” Kalimat ini menyentuh
kita pada inti persoalan. Hidup bukan hanya tentang seberapa panjang kita
diberi waktu, tapi bagaimana kita menggunakannya.
Apa yang sebenarnya kita kejar?
Banyak dari kita sibuk berlari setiap hari. Mengejar kuliah,
pekerjaan, penghasilan, bahkan pengakuan dari orang lain. Rasanya seperti ada
target yang harus segera dicapai, seakan hidup adalah lomba yang nggak boleh
berhenti sebentar saja. Tapi ketika garis kematian itu muncul dalam pikiran,
kita mulai bertanya: apa sebenarnya yang kita kejar? Apakah kita benar-benar
menuju sesuatu, atau sekadar mengikuti arus tanpa arah?
Kita sering berpikir bahwa kebahagiaan baru bisa datang
kalau semua target itu tercapai. Padahal kenyataannya, sering kali kebahagiaan
justru hadir di momen sederhana yang nggak kita sadari. Duduk bersama teman,
makan malam bareng keluarga, atau bahkan secangkir kopi hangat di pagi hari.
Albert Camus pernah menulis: “Man is the only creature
who refuses to be what he is.” Kita sering lupa untuk menerima diri kita
apa adanya. Kita sibuk membuktikan sesuatu, tapi jarang benar-benar menikmati
peran kita sebagai manusia yang hidup, bernapas, dan punya batas waktu.
Hidup bukan sekadar menunggu akhir
Mungkin kamu pernah merasa, apa gunanya semua usaha ini
kalau pada akhirnya kita akan mati juga? Pertanyaan itu wajar muncul, tapi
justru di situlah letak keindahannya. Hidup tidak berhenti pada kematian,
melainkan pada bagaimana kita mengisi hari-hari sebelum itu tiba.
Kalau hidup hanya soal menunggu akhir, maka semua yang kita
lakukan jadi sia-sia. Tapi kalau kita melihat hidup sebagai kesempatan singkat
yang bisa diisi dengan makna, maka setiap detik terasa lebih berharga.
Bayangkan kalau kamu tahu bahwa waktu yang tersisa hanya
setahun. Apa yang akan kamu lakukan berbeda dari sekarang? Pertanyaan itu nggak
harus membuat kita panik, justru bisa jadi pengingat untuk lebih berani
memilih. Berani mencintai, berani gagal, berani mencoba hal baru.
Saat kita terlalu takut kehilangan
Ada alasan kenapa banyak orang menolak membicarakan
kematian. Kita takut kehilangan, bukan hanya kehilangan orang lain, tapi juga
kehilangan diri kita sendiri. Kita membayangkan apa yang akan hilang:
rencana-rencana, mimpi yang belum sempat diwujudkan, bahkan hal-hal kecil yang
kita anggap remeh hari ini.
Rasa takut itu manusiawi. Tapi yang sering kita lupakan
adalah: ketakutan hanya membuat kita berhenti bergerak. Kita lupa bahwa justru
karena ada kehilangan, kita bisa lebih menghargai apa yang ada sekarang.
“Orang yang mengingat mati akan hidup dengan lebih bijak.”
(Ali bin Abi Thalib)
Kutipan ini sederhana tapi dalam. Mengingat kematian bukan
berarti jadi murung atau pesimis, melainkan membuat kita sadar bahwa setiap
kesempatan bisa hilang kapan saja. Jadi, apa yang bisa kita lakukan hari ini
untuk hidup lebih jujur pada diri sendiri?
Batas itu bukan akhir, tapi pengingat
Kematian sering dianggap sebagai akhir segalanya. Padahal,
ia juga bisa dilihat sebagai guru yang sabar, yang setiap hari mengingatkan
kita: jangan sia-siakan waktu. Garis kematian itu seperti batas tipis yang
membuat kita sadar bahwa hidup ini tidak abadi. Dan justru karena itu, kita
bisa belajar memilih mana yang penting dan mana yang sekadar gangguan.
Kita nggak perlu menunggu sampai kehilangan untuk tahu
betapa berharganya seseorang. Kita nggak perlu menunggu jatuh sakit untuk sadar
bahwa tubuh ini butuh dijaga. Kita nggak perlu menunggu usia tua untuk mengerti
bahwa waktu bersama orang tersayang lebih berarti daripada sekadar menambah
angka di rekening.
Seperti Rumi pernah berkata: “Try to accept the changing
seasons of your heart, even if you’ve never seen them before.” Garis
kematian hanyalah bagian dari siklus. Ketika kita bisa menerimanya, kita akan
lebih berani menjalani hari-hari dengan apa adanya.
Jadi, bagaimana kita ingin dikenang?
Pertanyaan ini sering kali berat, tapi penting. Apa yang
ingin orang lain ingat dari kita setelah garis itu tiba? Apakah kita ingin
dikenang sebagai seseorang yang sibuk mengejar hal-hal yang bahkan tidak sempat
ia nikmati? Atau sebagai seseorang yang hidup dengan penuh makna, walau
sederhana?
Hidup bukan hanya tentang meninggalkan warisan materi. Lebih
dari itu, ia soal meninggalkan jejak pada hati orang lain. Senyum yang pernah
kita berikan, bantuan kecil yang membuat orang lain merasa didengar, atau
cerita yang menginspirasi meski singkat.
Pada akhirnya, garis kematian tidak bisa kita hindari. Tapi
kita bisa memilih bagaimana kita berjalan menuju sana. Kita bisa memilih untuk
hidup setengah-setengah, atau menjalani sepenuhnya, dengan cinta, keberanian,
dan rasa syukur.
Dan mungkin, itulah satu-satunya cara agar batas itu tidak
terasa menakutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar