“Hidup bukan soal menunggu badai reda, tapi tentang
belajar menari di tengah hujan.”
— Vivian Greene
Kadang kita ngerasa dunia terlalu cepat berubah, dan kita
cuma bisa ikut.
Terlalu banyak hal yang di luar kendali: keadaan keluarga, ekonomi, trauma,
ekspektasi orang lain. Lama-lama, kita terbiasa jadi penerima. Pasrah. Diam.
Dan hidup pun terasa kayak ditentukan sepenuhnya oleh keadaan.
Tapi bener gak sih, kita cuma korban keadaan?
Apa benar gak ada ruang buat kita menciptakan hidup yang
kita mau—meski pelan-pelan, meski kecil?
Jawabannya: ada.
Karena kita ini bukan cuma penerima. Kita juga pencipta. Dan meskipun gak
semuanya bisa kita kendalikan, tapi selalu ada satu hal yang bisa: cara kita
menjalaninya.
Kendali itu bukan
tentang mengubah segalanya, tapi memilih sikap dalam keterbatasan
“Kamu mungkin gak bisa mengontrol arah angin, tapi kamu
bisa belajar mengatur layar kapalnya.”
Gak semua hal dalam hidup bisa kita tentukan. Kita gak bisa
milih lahir di mana, besar di lingkungan seperti apa, atau mengalami peristiwa
yang terjadi di luar kuasa kita. Tapi itu bukan akhir dari segalanya. Justru di
situlah pilihan pertama muncul: mau menyerah atau mau menyikapi?
Banyak orang berpikir mengambil kendali itu harus dengan
keputusan besar—pindah kota, keluar kerja, memulai sesuatu yang besar. Padahal,
kadang kendali justru muncul dari hal-hal kecil. Memilih bangun pagi walau
semalam nangis. Memilih tetap bersikap baik saat hati lagi penuh amarah.
Memilih menulis jurnal di malam yang sepi, hanya agar diri sendiri gak hilang.
Kita sering ngeremehin pilihan-pilihan sederhana. Tapi
justru dari sanalah hidup terbentuk.
Setiap keputusan kecil, setiap respons yang kita pilih, setiap sikap yang tetap
kita pegang di tengah kekacauan—itu semua adalah bentuk kendali.
Dan itu juga bentuk mencipta. Karena tanpa sadar, kita
sedang membentuk versi hidup yang kita pilih untuk jalani.
Ambil jarak dari suara luar, biar kamu bisa dengar suara
diri sendiri
“Kalau kamu gak ngarahin hidupmu sendiri, orang lain akan
ngelakuinnya buat kamu.”
— Tony Robbins
Di usia 20-an, suara dari luar kadang lebih kencang daripada
suara dari dalam.
Ada ekspektasi dari orang tua, standar dari sosial media, cerita sukses dari
teman-teman yang bikin kita merasa ketinggalan. Tanpa sadar, kita mulai ngerasa
harus ikut. Harus cepat. Harus keren. Harus berhasil.
Tapi gimana caranya mau mencipta hidup sendiri, kalau kita
sendiri gak tahu apa yang benar-benar kita inginkan?
Di sinilah pentingnya diam. Menepi. Menyepi.
Kadang, kita perlu ambil jarak dari semua suara luar itu, bukan karena kita
lari, tapi supaya kita bisa denger suara kita sendiri lagi. Apa yang sebenarnya
kita butuhkan? Apa yang bikin kita tenang? Siapa yang benar-benar kita mau
jadi?
Mengambil kendali bukan selalu soal “tahu pasti mau ke
mana.”
Kadang cukup dengan tahu: “Aku gak mau lagi hidup berdasarkan ekspektasi orang
lain.”
Dan dari situ, kamu mulai mencipta ulang arah hidupmu. Bukan
lagi pakai peta orang, tapi kompas diri sendiri.
Kendali juga
dimulai dari memilih untuk tetap hadir… bahkan saat semua orang pergi
“Kalau gak ada orang yang percaya padamu, setidaknya kamu
jangan ikut ninggalin dirimu sendiri.”
Kita semua pasti pernah ngerasa ditinggalkan.
Entah oleh teman yang berubah, keluarga yang gak ngerti, atau pasangan yang
pergi tanpa banyak alasan. Rasanya kayak kamu berdiri di tengah lapangan
kosong. Sunyi. Dan yang lebih menyakitkan, kamu gak tahu harus lari ke mana.
Tapi dalam kesendirian itu, kamu bisa mulai kenal sama satu
sosok yang paling penting dalam hidupmu: diri sendiri.
Mungkin kamu belum sembuh. Mungkin masih sering nangis. Tapi
kamu tetap hadir. Kamu tetap bangun. Kamu tetap nyalain lampu, meski gak ada
yang liat. Dan itu, Edi, adalah salah satu bentuk penciptaan paling sunyi… tapi
paling kuat.
Kamu menciptakan ruang untuk tetap tumbuh. Kamu menciptakan
batas, kenyamanan, dan kekuatan yang gak bergantung pada siapa pun.
Kamu boleh kehilangan orang-orang, tapi jangan sampai kamu kehilangan dirimu
sendiri.
Menerima kenyataan
bukan tanda menyerah, tapi langkah pertama buat mencipta ulang
“Penerimaan bukan akhir dari perjuangan. Tapi titik di
mana kamu mulai membangun dari puing yang tersisa.”
Kita sering diajarin bahwa menerima itu pasrah.
Padahal, menerima kenyataan justru butuh kekuatan yang besar. Karena butuh
keberanian untuk bilang, “Ya, ini hidupku sekarang. Dan aku gak akan pura-pura
lagi.”
Penerimaan adalah titik hening sebelum perubahan.
Bukan karena kamu menyerah, tapi karena kamu berhenti melawan hal yang gak bisa
diubah, dan mulai fokus pada hal-hal yang masih bisa kamu bentuk.
Menerima gak berarti diam. Tapi memilih tempat yang tenang
untuk mulai membangun.
Dan dari situ, kamu mulai menciptakan hidup yang sesuai dengan ritmemu
sendiri—bukan karena kamu ingin cepat, tapi karena kamu tahu apa yang penting.
Setiap pilihan
kecil hari ini, adalah bagian dari hidup yang sedang kamu ciptakan
“Hidupmu adalah akumulasi dari keputusan kecil yang kamu
pilih tiap hari.”
Banyak orang nunggu momen besar: perubahan drastis, rezeki
nomplok, titik balik hidup. Tapi kenyataannya, hidup gak dibentuk dari momen
besar itu aja. Hidup dibentuk dari hal kecil yang terus kita ulang:
Cara kita merespons stres.
Cara kita memperlakukan diri sendiri.
Cara kita ngomong ke hati saat gagal.
Kita mencipta bukan dari keberhasilan besar, tapi dari
kebiasaan sadar.
Dan kamu bisa mulai kapan aja. Gak perlu nunggu semuanya siap. Gak perlu nunggu
semua orang setuju.
Hari ini, kamu bisa milih satu langkah.
Bikin satu keputusan kecil.
Menuliskan satu hal yang kamu syukuri.
Atau sekadar memaafkan dirimu karena belum sempat jadi apa-apa.
Itu semua juga bentuk kendali. Dan itu semua juga bagian
dari hidup yang kamu bentuk dengan tangan sendiri.
Mungkin kamu gak bisa ubah masa lalu.
Mungkin kamu masih belum tahu persis mau ke mana.
Tapi satu hal ini tetap benar: kamu bisa tetap memilih.
Dan dalam setiap pilihan yang kamu buat dengan sadar, kamu
sedang menciptakan hidupmu sendiri.
Bukan karena kamu harus hebat. Tapi karena kamu layak punya hidup yang kamu
bentuk sendiri. 🌿
Tidak ada komentar:
Posting Komentar