2025/04/19

Kebiasaan Stalking Sosial Media: Kenapa Kita Sering Kepo Diam-Diam ke Mantan dan Teman Lama?

 

Laki-laki muda sedang menatap layar ponsel di kamar remang, terlihat sedang stalking media sosial mantan atau teman lama dengan ekspresi serius dan penasaran – ilustrasi kebiasaan kepo diam-diam di era digital.

"Kadang yang bikin kita gagal move on itu bukan rasa sayang, tapi jari yang nggak bisa diam buat ngepoin."

Ada momen-momen sunyi, di tengah malam atau waktu senggang, ketika jari kita otomatis mengetik nama seseorang di kolom pencarian. Bukan untuk menyapa, apalagi membuka obrolan. Tapi cuma buat tahu: dia lagi gimana sekarang?

Mantan yang dulu bikin hati deg-degan. Teman lama yang udah hilang kontak. Atau seseorang yang sempat jadi ‘nyangkut’ dalam hidup, walau nggak pernah benar-benar jadi apa-apa.

Tanpa sadar, kita mulai scroll. Foto demi foto. Story demi story. Kadang cuma pengin lihat sekilas, tapi malah keterusan. Dari Instagram pindah ke TikTok, lalu ke LinkedIn. Nggak ada tujuan jelas—hanya sekadar kepo. Tapi kenapa, ya? Kenapa kita sering banget susah nahan buat stalking?

Yuk, kita bahas bareng-bareng.


Antara pengin tahu dan belum benar-benar selesai

Perempuan muda termenung di dekat jendela, tampak galau dan belum sepenuhnya move on, menggambarkan perasaan antara ingin tahu kabar mantan dan belum benar-benar selesai secara emosional.


“Kenangan itu seperti tab browser yang nggak kita tutup. Masih terbuka, walau udah nggak kita buka-buka.” – Najwa Shihab

Setiap orang pasti punya cerita. Dan dalam cerita itu, ada orang-orang yang pernah berarti—baik mantan, sahabat lama, atau mungkin seseorang yang dulu cuma jadi “teman tapi pengen lebih”.

Stalking itu kadang jadi semacam pintu kecil buat kita mengintip ke masa lalu yang belum tuntas. Kita tahu udah nggak bareng, udah nggak deket, udah nggak satu frekuensi. Tapi ada rasa penasaran, “Dia sekarang gimana, ya?”

Masalahnya, rasa penasaran itu seringnya nggak ngasih jawaban yang bikin lega. Justru sebaliknya, makin scroll makin mikir, “Kok dia kelihatan bahagia banget, sih?” atau “Lah, dia udah nikah duluan?”

Padahal, apa yang kita lihat di sosial media sering kali cuma bagian manis dari cerita. Kita lupa, mereka juga manusia. Yang bisa salah. Yang juga bisa sedih. Tapi karena kita cuma lihat highlight-nya, kita jadi ngebandingin hidup kita yang lagi berantakan sama hidup mereka yang kelihatan mulus.


Apa yang kamu cari dari hidup orang lain?

Seorang pria muda sedang termenung sambil melihat profil media sosial seorang wanita di ponselnya, menggambarkan kebiasaan stalking sosial media terhadap mantan atau teman lama.


“Don’t compare your behind-the-scenes with everyone else’s highlight reel.” – Steven Furtick

Gini, stalking itu nggak selalu salah. Tapi yang bahaya itu saat stalking jadi kebiasaan. Jadi pelarian. Jadi candu yang diem-diem nguras waktu dan energi emosional kita.

Kadang kita ngepoin bukan karena sayang, tapi karena penasaran. Bukan karena pengen balikan, tapi karena ego yang belum selesai. Ada rasa pengin “lihat dia nyesel”, “lihat dia nggak bahagia tanpa kita”, atau bahkan cuma pengin tahu kita udah kalah atau belum.

Tapi saat kamu terlalu sibuk ngelihat ke belakang, kamu bisa kehilangan arah ke depan. Kamu bisa stuck di cerita yang udah selesai. Dan sayangnya, sosial media bikin proses itu makin gampang. Tinggal ketik nama, scroll, dan... jebakan nostalgia dimulai.


Kamu nggak salah karena masih peduli

Seorang wanita muda memandangi foto pria di layar ponselnya dengan ekspresi sedih, menggambarkan rasa peduli dan perasaan belum sepenuhnya move on dari masa lalu.


“Letting go doesn’t mean forgetting. It means choosing peace over chaos.” – Morgan Harper Nichols

Kalau kamu sekarang lagi dalam fase-fase gini, nggak apa-apa. Nggak usah maksa diri buat kuat. Tapi coba deh tanyain ke diri sendiri, “Aku dapet apa sih dari semua stalking ini?” Kalau jawabannya cuma perasaan kosong, cemas, atau makin overthinking, mungkin saatnya bilang: cukup.

Kamu bisa unfollow. Bisa mute. Bisa blokir kalau perlu. Bukan karena benci, tapi karena kamu lagi jaga diri. Karena kamu layak buat damai.

Dan percaya deh, makin kamu fokus ke hidup kamu sendiri, makin kecil keinginan buat ngepoin hidup orang lain. Karena kamu udah punya cerita yang lebih penting buat dijalanin—cerita tentang kamu.


Fokus ke depan, bukan ke profil yang udah lama kamu buka

Seorang wanita muda memegang ponsel sambil melihat foto seorang pria di layar, dengan ekspresi serius dan ragu, menggambarkan momen ketika seseorang mencoba fokus ke depan namun masih terbayang oleh masa lalu di media sosial.


“You can’t start the next chapter of your life if you keep re-reading the last one.”

Kepo itu manusiawi. Kadang kita cuma pengin tahu, cuma pengin memastikan semuanya baik-baik aja. Tapi tanpa sadar, kita terus-terusan menarik diri ke cerita lama yang udah semestinya tutup halaman.

Kamu udah cukup kuat buat lepas dari itu semua. Dan mungkin, yang kamu butuhin bukan jawaban dari masa lalu—tapi keberanian buat bilang: “Aku udah cukup tahu. Sekarang waktunya aku milih diri sendiri.”

Soal stalking, soal penasaran, itu semua bisa berkurang... pas kamu udah sibuk ngerawat hidupmu sendiri. Dan kamu bisa, kok. Kamu udah sampai sejauh ini. Tinggal terusin aja langkahnya—pelan-pelan, tapi pasti.

Yang penting: jangan lupa liat ke depan. Karena di sana, ada versi kamu yang lebih utuh, lebih bebas, dan lebih bahagia... nunggu buat ditemuin.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hidupmu Penuh Tapi Gak Kerasa? Waspada Digital Clutter!

Pernah nggak kamu ngerasa otak penuh padahal nggak ada hal besar yang sedang terjadi? Anehnya, bukan karena masalah besar atau tugas kampus ...