"Kadang yang bikin kita gagal move on itu bukan
rasa sayang, tapi jari yang nggak bisa diam buat ngepoin."
Ada momen-momen sunyi, di tengah malam atau waktu
senggang, ketika jari kita otomatis mengetik nama seseorang di kolom pencarian.
Bukan untuk menyapa, apalagi membuka obrolan. Tapi cuma buat tahu: dia lagi
gimana sekarang?
Mantan yang dulu bikin hati deg-degan. Teman lama yang
udah hilang kontak. Atau seseorang yang sempat jadi ‘nyangkut’ dalam hidup,
walau nggak pernah benar-benar jadi apa-apa.
Tanpa sadar, kita mulai scroll. Foto demi foto. Story
demi story. Kadang cuma pengin lihat sekilas, tapi malah keterusan. Dari
Instagram pindah ke TikTok, lalu ke LinkedIn. Nggak ada tujuan jelas—hanya
sekadar kepo. Tapi kenapa, ya? Kenapa kita sering banget susah nahan buat
stalking?
Yuk, kita bahas bareng-bareng.
Antara pengin tahu dan belum benar-benar selesai
“Kenangan itu seperti tab browser yang nggak kita
tutup. Masih terbuka, walau udah nggak kita buka-buka.” – Najwa Shihab
Setiap orang pasti punya cerita. Dan dalam cerita itu,
ada orang-orang yang pernah berarti—baik mantan, sahabat lama, atau mungkin
seseorang yang dulu cuma jadi “teman tapi pengen lebih”.
Stalking itu kadang jadi semacam pintu kecil buat kita
mengintip ke masa lalu yang belum tuntas. Kita tahu udah nggak bareng, udah
nggak deket, udah nggak satu frekuensi. Tapi ada rasa penasaran, “Dia
sekarang gimana, ya?”
Masalahnya, rasa penasaran itu seringnya nggak ngasih
jawaban yang bikin lega. Justru sebaliknya, makin scroll makin mikir, “Kok dia
kelihatan bahagia banget, sih?” atau “Lah, dia udah nikah duluan?”
Padahal, apa yang kita lihat di sosial media sering kali
cuma bagian manis dari cerita. Kita lupa, mereka juga manusia. Yang bisa salah.
Yang juga bisa sedih. Tapi karena kita cuma lihat highlight-nya, kita jadi
ngebandingin hidup kita yang lagi berantakan sama hidup mereka yang kelihatan
mulus.
Apa yang kamu cari dari hidup orang lain?
“Don’t compare your behind-the-scenes with everyone
else’s highlight reel.” – Steven Furtick
Gini, stalking itu nggak selalu salah. Tapi yang bahaya
itu saat stalking jadi kebiasaan. Jadi pelarian. Jadi candu yang diem-diem
nguras waktu dan energi emosional kita.
Kadang kita ngepoin bukan karena sayang, tapi karena
penasaran. Bukan karena pengen balikan, tapi karena ego yang belum selesai. Ada
rasa pengin “lihat dia nyesel”, “lihat dia nggak bahagia tanpa kita”, atau
bahkan cuma pengin tahu kita udah kalah atau belum.
Tapi saat kamu terlalu sibuk ngelihat ke belakang, kamu
bisa kehilangan arah ke depan. Kamu bisa stuck di cerita yang udah selesai. Dan
sayangnya, sosial media bikin proses itu makin gampang. Tinggal ketik nama,
scroll, dan... jebakan nostalgia dimulai.
Kamu nggak salah karena masih peduli
“Letting go doesn’t mean forgetting. It means choosing
peace over chaos.” – Morgan Harper Nichols
Kalau kamu sekarang lagi dalam fase-fase gini, nggak
apa-apa. Nggak usah maksa diri buat kuat. Tapi coba deh tanyain ke diri
sendiri, “Aku dapet apa sih dari semua stalking ini?” Kalau jawabannya
cuma perasaan kosong, cemas, atau makin overthinking, mungkin saatnya bilang:
cukup.
Kamu bisa unfollow. Bisa mute. Bisa blokir kalau perlu.
Bukan karena benci, tapi karena kamu lagi jaga diri. Karena kamu layak buat
damai.
Dan percaya deh, makin kamu fokus ke hidup kamu sendiri,
makin kecil keinginan buat ngepoin hidup orang lain. Karena kamu udah punya
cerita yang lebih penting buat dijalanin—cerita tentang kamu.
Fokus ke depan, bukan ke profil yang udah lama kamu buka
“You can’t start the next chapter of your life if you
keep re-reading the last one.”
Kepo itu manusiawi. Kadang kita cuma pengin tahu, cuma
pengin memastikan semuanya baik-baik aja. Tapi tanpa sadar, kita terus-terusan
menarik diri ke cerita lama yang udah semestinya tutup halaman.
Kamu udah cukup kuat buat lepas dari itu semua. Dan
mungkin, yang kamu butuhin bukan jawaban dari masa lalu—tapi keberanian buat
bilang: “Aku udah cukup tahu. Sekarang waktunya aku milih diri sendiri.”
Soal stalking, soal penasaran, itu semua bisa
berkurang... pas kamu udah sibuk ngerawat hidupmu sendiri. Dan kamu bisa, kok.
Kamu udah sampai sejauh ini. Tinggal terusin aja langkahnya—pelan-pelan, tapi
pasti.
Yang penting: jangan lupa liat ke depan. Karena di sana,
ada versi kamu yang lebih utuh, lebih bebas, dan lebih bahagia... nunggu buat
ditemuin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar