Ada satu momen dalam hidup yang gak mudah dijelasin ke siapa pun.
Bukan karena kita gak tahu rasanya, tapi karena terlalu banyak yang berserakan
di kepala.
Kamu bangun pagi dengan rasa berat. Bukan karena semalam
begadang, tapi karena hati kamu udah terlalu penuh. Kamu tetap senyum ke teman,
tetap jawab chat, tetap ngikutin rutinitas. Tapi di dalam, kamu cuma pengin...
hilang. Sebentar aja.
Bukan buat drama. Bukan biar dicarikan. Tapi karena kamu
butuh diam. Butuh napas. Butuh gak jadi apa-apa, gak harus ada di mana-mana.
Kamu capek jadi ‘baik-baik aja.’ Capek jadi yang paling pengertian. Capek jadi
kuat sendirian.
Tapi di balik rasa itu, ada ketakutan kecil yang diam-diam
tumbuh:
“Kalau aku hilang, ada yang nyariin gak, ya?”
Dan di sinilah semua rasa mulai numpuk jadi satu. Capek,
bingung, dan sepi yang gak kelihatan. Kamu gak tahu lagi mana lelah yang bisa
dipulihkan dengan tidur, dan mana yang cuma bisa sembuh kalau kamu benar-benar
jujur sama diri sendiri.
Kadang kita gak tahu harus cerita ke siapa, padahal hati
udah lama minta istirahat
"Emotional exhaustion is not always visible, but it
slowly empties you from the inside."
— Dr. Sherrie Bourg Carter
Ada masa-masa di mana kita ngerasa aneh banget sama diri
sendiri. Capek, tapi gak jelas kenapa. Gak semangat, tapi gak juga sedih. Kayak
hidup terus jalan, tapi kamu gak ikut di dalamnya. Kayak kamu duduk di kursi
penonton, nonton hidupmu sendiri, tapi gak bisa ngapa-ngapain.
Rasanya kayak pengin menghilang, tapi bukan buat cari
perhatian. Cuma ingin... gak ada dulu. Ingin diam, istirahat dari semuanya,
bahkan dari diri sendiri. Dan kamu bingung, ini kenapa sih sebenarnya?
Lucunya, meski pengin hilang, kita juga pengin tetap dicari.
Ada suara kecil di dalam hati yang nanya, “Kalau aku pergi sebentar, masih ada
yang nyari gak ya?” Dan saat gak ada yang tanya kabar, kamu jadi merasa semakin
sendirian. Tapi kalau ada yang nanya, kamu pun bingung harus jawab apa. Karena
kamu sendiri gak tahu lagi kenapa rasanya kayak gini.
Dan seringkali, bukan gak ada yang peduli. Tapi kita sendiri
udah terlalu lama gak jujur sama diri. Kita bilang “nggak apa-apa” terlalu
sering sampai kita lupa gimana caranya bilang, “Tolong, aku lagi capek banget.”
Burnout itu bukan cuma soal kerja, tapi juga karena
terus-terusan harus kuat
"You don't have to set yourself on fire to keep
others warm."
— Anonim
Selama ini kita terlalu sering mengaitkan burnout dengan
kerja. Padahal, burnout juga bisa datang karena hal-hal yang lebih dalam dan
lebih sunyi. Karena terlalu sering jadi tempat curhat orang lain, tapi gak
punya siapa-siapa buat dengerin kita. Karena terlalu sering ngalah biar gak
ribut. Karena terlalu takut keliatan lemah. Karena selalu jadi penengah,
peredam konflik, penyemangat, pemaaf, dan penguat—buat semua orang, kecuali
diri sendiri.
Kamu pernah gak sih, ada di titik di mana semua orang datang
ke kamu waktu mereka butuh sesuatu, tapi gak ada yang beneran nanya, “Kamu
sendiri gimana?”
Dan kamu tetap senyum, karena kamu udah biasa. Tapi lama-lama, kamu ngerasa
capek banget, bahkan cuma buat bangun dari tempat tidur.
Hari-hari berlalu kayak template. Bangun, mandi, kerja atau
kuliah, balas chat, scroll medsos, pura-pura aktif, terus ulang lagi besok.
Kamu hadir, tapi gak beneran ada. Semua jadi rutinitas tanpa rasa.
Itu bukan kamu yang salah. Itu tubuh dan hatimu yang udah
terlalu lama berusaha tanpa henti. Dan sekarang, mereka cuma minta didengar.
Rasanya kayak pengin kabur dari semuanya, tapi tetap
berharap ada yang nyari
"Aku ingin hilang, tapi jangan lupakan aku."— Suara hati yang jarang terdengar
Rasa ingin menghilang itu aneh ya. Di satu sisi kamu pengin
sendiri, tapi di sisi lain kamu juga pengin ada seseorang yang nyariin kamu.
Gak banyak, satu orang pun cukup. Seseorang yang bener-bener hadir. Yang gak
maksa kamu cerita, tapi cukup duduk dan bilang, “Aku di sini.”
Tapi kadang yang kamu temui adalah sebaliknya. Saat kamu
menjauh, mereka ikut diam. Saat kamu berhenti chat, gak ada yang ngecek. Dan
kamu mulai berpikir, "Mungkin aku emang gak sepenting itu."
Itu bikin sakit. Tapi kamu juga sadar, orang lain gak
sepenuhnya salah. Mungkin mereka gak tahu kamu lagi butuh apa. Mungkin mereka
mikir kamu cuma pengin sendiri. Mungkin mereka juga lagi berjuang dengan rasa
lelahnya sendiri.
Tapi kamu tetap berharap. Dan itu wajar. Karena kamu bukan
cuma pengin diam, kamu juga pengin dipeluk. Meskipun pelukannya cuma lewat satu
pesan pendek:
“Kamu gak apa-apa?”
Gak semua orang bisa ngerti, tapi kamu bisa mulai dari
memahami dirimu sendiri
"Kamu gak lebay, kamu lagi lelah. Dan lelah itu
manusiawi." — Ed
Burnout emosional gak selalu kelihatan. Bahkan kamu sendiri
kadang gak sadar kalau kamu lagi di dalamnya. Kamu tetap datang ke kelas,
kerja, ketawa di grup, tapi begitu sendirian, semuanya runtuh. Mata kamu berat,
dada sesak, pikiran kosong. Kamu ngerasa kayak numpang hidup aja, padahal kamu
pengin hidup beneran.
Dan kamu mulai nanya ke diri sendiri: "Kenapa sih
aku gini terus?"
Tapi justru di titik itu kamu bisa mulai pulih.
Coba kasih ruang buat diri kamu sendiri. Gak harus langsung
bahagia. Gak harus langsung ngerti semua. Cukup duduk, tarik napas dalam-dalam,
dan jujur:
"Aku capek, dan aku butuh istirahat."
Istirahat bukan kemunduran. Itu bagian dari perjalanan.
Pelan-pelan, kamu bisa mulai ngerawat diri kayak kamu ngerawat orang lain. Kamu
bisa nulis, jalan sendiri, dengerin musik, atau cuma duduk sambil liat langit
sore. Gak harus produktif. Gak harus kelihatan sibuk. Cukup hadir buat diri
kamu. Itu udah cukup.
Kamu boleh hilang, tapi jangan hilang dari dirimu sendiri
"Take a deep breath. You're allowed to rest." — Anonim
Kamu gak harus selalu kuat. Gak harus jadi inspirasi. Gak
harus jadi penolong semua orang.
Kamu juga manusia. Yang kadang pengin dimengerti tanpa harus menjelaskan. Yang
kadang pengin dipeluk tanpa ditanya-tanya. Yang kadang pengin denger, “Gak
apa-apa, kamu udah cukup.”
Dan kalau kamu merasa pengin hilang, ya gak apa-apa. Hilang
sebentar, tapi jangan benar-benar pergi. Jangan hilang dari dirimu sendiri.
Jangan cuekin suara hati yang selama ini kamu tahan. Dia cuma pengin didengar.
Dia cuma pengin ditemani.
Kalau suatu hari nanti kamu kembali, kamu gak perlu minta
maaf. Kamu cukup bilang, “Aku butuh ruang. Tapi sekarang aku di sini lagi.”
Dan percayalah, itu bukan kelemahan. Itu keberanian.
Burnout emosional itu nyata. Dan kadang, satu-satunya cara
kita sadar adalah ketika kita ngerasa pengin banget hilang. Tapi itu bukan
akhir dari segalanya.
Itu bisa jadi awal kamu mulai kenal siapa dirimu sebenarnya.
Mulai belajar bilang tidak.
Mulai belajar istirahat.
Mulai belajar pulang, bukan ke rumah orang lain, tapi ke diri kamu sendiri.
Pelan-pelan, ya. Kamu gak harus cepat. Tapi kamu juga gak
perlu sendirian. Dunia mungkin gak selalu peka, tapi selama kamu masih berani
jujur ke diri sendiri, kamu gak benar-benar hilang.